Ulasan Buku Muslimah yang Diperdebatkan: Ketika Perempuan Berbicara Haknya

Candra Kartiko | Sam Edy Yuswanto
Ulasan Buku Muslimah yang Diperdebatkan: Ketika Perempuan Berbicara Haknya
Buku 'Muslimah yang Diperdebatkan'. (DokPribadi/samedy)

Meskipun ada perbedaan, tapi pada dasarnya, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama-sama harus diperjuangkan. Ada banyak kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang mestinya ditunaikan dan perlakukan tanpa ada perbedaan atau tebang pilih, misalnya hak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.

Dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan (Mojok, 2019) Kalis Mardiasih berbicara tentang banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak kaum perempuan yang terkadang dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, terlebih oleh kaum laki-laki. Misalnya, mengenakan kain kerudung saat bekerja adalah salah satu hak bagi kaum perempuan muslimah. Sayangnya, masih ada negara dan tempat kerja yang tak membolehkan perempuan muslimah mengenakan jilbab saat bekerja.

Misalnya, peraturan yang dikeluarkan oleh pengadilan Eropa yang melarang pekerja mengenakan pakaian yang memuat simbol pemikiran maupun agama, utamanya di lingkungan profesional. Peraturan itu paling kuat tentu merujuk kepada pemakaian jilbab.

Pendidikan adalah termasuk hal prioritas dalam kehidupan. Ini artinya, pendidikan semestinya tak boleh diabaikan oleh setiap orang, baik laki-laki maupun kaum perempuan. Islam juga mengajarkan agar kita selalu berusaha menimba ilmu, di mana saja, kapan saja, selama hayat masih dikandung badan. Sayangnya, masih ada sebagian orang, biasanya dari aliran Islam garis keras, yang memandang bahwa kaum perempuan tak perlu mengenyam pendidikan tingi-tinggi.

Kalis Mardiasih merasakan kegeramannya saat melihat meme yang diunggah oleh aliran garis keras, berupa gambar laki-laki yang lari terbirit-birit dikejar perempuan berpendidikan S-2 dan S-3. Meme tersebut secara tidak langsung telah menumpulkan hak kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi. Hal ini tentu bertolak belakang dengan ajaran Islam tentang kewajiban menuntut ilmu sepanjang hidup bagi laki-laki dan kaum perempuan.

Bila melihat catatan sejarah tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, mestinya kita bisa becermin pada perjuangan Nyai Ahmad Dahlan bersama Aisyiyah. Pada tahun 1919, mereka sudah mampu mendirikan TK alias Busthanul Athfal yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai 5.865 buah. Dan sekarang, perguruan tinggi Aisyiyah itu telah tersebar di mana-mana (Muslimah yang Diperdebatkan, halaman 25).

Pemikiran-pemikiran Kalis Mardiasih tentang hak-hak kaum perempuan yang harus ditunaikan dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan sangat menarik untuk dikaji, harapannya ke depan tak ada lagi hak-hak kaum perempuan yang ditindas atau tertindas oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama.

***

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak