Mengingat Kematian dari Buku Tuan Presiden, Keranda dan Kapal Sabut

Hernawan | Rozi Rista Aga Zidna
Mengingat Kematian dari Buku Tuan Presiden, Keranda dan Kapal Sabut
Buku Tuan Presiden, Keranda dan Kapal Sabut (Doc.Pribadi/Fathorrozi)

Buku Kumpulan Cerpen ini memuat sebanyak 18 judul yang ditulis oleh Musa Ismail. Musa Ismail lahir di Pulau Buru Karimun, Kepulauan Riau, tanggal 14 Maret 1971. Ia menulis sejak duduk di bangku kuliah. Tulisannya berupa cerpen, esai sastra/budaya, dan artikel/opini tersebar di berbagai media.

Kumpulan cerpen perdananya berjudul Sebuah Kesaksian diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau pada Oktober 2002. Sedangkan kumpulan cerpen dengan judul Tuan Presiden, Keranda dan Kapal Sabut ini juga merupakan buah karyanya yang diterbitkan oleh Seligi pada Oktober 2009.

Dari ke-18 judul di dalam buku ini, yang paling keren menurut saya adalah cerpen yang berjudul Tuan Presiden, Keranda dan Kapal Sabut. Maka, tak heran jika judul cerpen tersebut dinobatkan sebagai judul cover buku ini.

Tuan Presiden, Keranda dan Kapal Sabut ini bercerita tentang seorang politikus yang baru menduduki kursi sebagai presiden terpilih. Ia terlalu didewakan oleh rakyat. Tangannya menggenggam kehidupan rakyat yang layak. Juga di tangannya bisa berbalik mencakar kehidupan rakyat. Rakyat berharap dalam kepemimpinannya ia tidak menyengsarakan rakyat.

Beberapa tahun setelah pemilihan, ekonomi rakyat berubah semakin menjadi puting beliung. Berputar-putar begitu dahsyat sehingga mencabut tenggorokan dan perut rakyat dengan sangat kejam. Hari-hari yang dilalui rakyat adalah masa-masa letih, pahit, gundah dan bergerak dengan ketidakberdayaan. Semuanya seumpama kabut yang dikaburkan mata.

Pagi ketika sampai di Istana Negara, Tuan Presiden terheran-heran, karena banyak sekali keranda mainan dengan jumlah tak terhingga di halaman istana. Di samping keranda-keranda tersebut, ada satu kapal sabut yang juga mainan membawa tulisan berwarna putih yang tertulis, “Tuan Presiden, kami adalah rakyat. Kami tidak memberikan apa-apa, kecuali bingkisan tak bernilai ini. Harap Tuan sudi membuka, menerima, dan memikirkannya dengan lapang dada  demi masa depan bangsa dan negara tercinta ini.” (halaman 110)

Saat Tuan Presiden mendekati dan membuka keranda itu, ternyata ada mayat di dalamnya, tetapi mayat mainan. Satu persatu keranda tersebut dibukanya, satu persatu pula Tuan Presiden melihat mayat-mayatan. Wajah mayat-mayat itu adalah wajah terdekatnya. Akhirnya, saat tinggal satu keranda lagi yang belum dibuka, ternyata di dalamnya terbujur kaku mayatnya sendiri: mayat Tuan Presiden.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak