Rimbun beringin di tengah Alun-alun Kidul Yogyakarta, menjadi corak yang melengkapi keindahan halaman belakang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dua beringin kembar tersebut berdiri kokoh, masing-masing dikelilingi tembok putih cantik yang menjadikan pohon kembar tersebut menarik untuk dinikmati. Lembutnya belaian angin menjadikan daun beringin nan tinggi riuh rendah menari. Namun, di balik ketenangannya, beringin kembar memiliki mitos yang sudah lekat sedari lampau pada dirinya.
Hal itu disampaikan oleh Tuwo, seorang pengemudi becak yang juga merupakan warga di sekitar pohon beringin, alun-alun kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tuwo menjelaskan adanya mitos yang lekat pada pohon beringin kembar tersebut.
“Katanya, kalau bisa melewati antara dua pohon ini, yang katanya satu laki-laki bernama Kyai Daru, dan yang satu perempuan dinamai Nyai Daru, itu akan terkabul apa yang diminta,” ucapnya ketika ditemui pada Rabu (19/01/2022).
Mitos tersebut dinamakan Laku Masangin yang merupakan singkatan dari masuk dua beringin. Laku Masangin dilakukan dengan sederhana, yaitu menutup mata lalu berjalan lurus dari arah keraton, hingga melewati kedua pohon beringin yang berjarak sekitar 20 meter dari depan Sasono Hinggil, menuju tengah-tengah ringin kurung (dua beringin di tengah alun-alun).
Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu tidak sederhana, banyak pengunjung yang gagal berjalan lurus menuju tengah-tengah beringin. Pengunjung malah berjalan menuju berbagai arah, baik itu berbelok ke arah kanan, maupun sisi kiri pohon beringin. Dipercaya dalam mitos Laku Masangin, hanya orang yang memiliki hati bersih yang bisa mencapai arah tujuan yakni melintasi kedua pohon beringin tersebut.
Banyak orang yang percaya, tetapi ada juga sebagian orang memilih untuk hanya menghormati kebudayaan yang ada. Hal itu disampaikan oleh Lili, seorang pengunjung yang kerap menikmati sore hari di alun-alun kidul. “Saya tidak percaya, namanya juga mitos. Tapi saya menghormati saja, maksudnya kan orang Kejawen, orang jawa kan masih adatnya disini. Saya hormati saja jika masih ada yang percaya pada hal tersebut,” tukasnya.
Berbeda dengan Bruyanto, seorang pedagang angkringan di alun-alun kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumahnya berjarak hanya sekitar 100 meter saja dari tempat ia mengais rupiah. Pria yang sedari kecil tinggal di sekitar beringin kembar menuturkan kepercayaannya pada mitos yang ada di pohon beringin kembar tersebut.
“Setahu saya, dan sudah terbukti, tetangga saya dulu waktu mau melamar pekerjaan, nyoba disitu. Ternyata, sekali langsung masuk diantara dua beringin itu. Selang dua hari, dia melamar pekerjaan di PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), itu langsung tes, langsung diterima,” ucap pria paruh baya tersebut.
Namun, ia selaku orang yang juga memegang teguh Pancasila, tidak menyalahkan mereka yang tidak percaya. Ia mempercayai apa yang sudah pernah dibuktikan oleh dirinya dan tidak mempermasalahkan jika banyak orang yang tak sama dengan dirinya.
Hari menjelang sore, matahari mulai tenggelam. Riuh rendah dedaunan beringin mulai bersautan dengan gelak tawa, dan cengkrama para pengunjung yang menikmati hangatnya Jogja di tengah alun-alun. Gelembung dan layang-layang menghiasi atap langit beringin kembar, tukang sewa penutup mata pun mulai berjajar.
Teriak arahan para pengunjung yang mencoba mitos tersebut mulai bersahutan, sesekali berteriak “kanan” ataupun “kiri”, hingga mereka yang tertawa karena berjalan tidak sesuai arah, dan gagal mencoba mitos tersebut. Selintas, mitos ini sudah seperti permainan belaka, permainan yang patut dicoba jika berkunjung ke alun-alun kidul.
Berbagai alasan dan kepercayaan menjadikan dasar bagi setiap orang untuk bisa percaya ataupun tidak pada mitos yang ada. Namun, menutup ceritanya, Tuwo selaku masyarakat lokal dari Yogyakarta sendiri menambahkan, “Sebagai orang Jogja, khususnya orang jawa, kita harus saling menghormati keyakinan dan pendapat orang lain. Jadi jangan memotong, atau istilahnya mencelah bagi keyakinan orang lain. Kita yakin kita berbagi, dan yang lain monggo silahkan. Kita saling menghormati saja,” ucap Tuwo.
Reporter: Syifa Khoerunnisa (Suara Community Institute Batch 1)