Dalam dunia literasi, terdapat istilah yang diberikan bagi pencinta buku yang memiliki kepedulian terhadap koleksi bukunya hingga selalu berhati-hati atau bahkan terkadang enggan meminjamkannya kepada orang lain.
Istilah tersebut dikenal dengan sebutan bibliotaph, yaitu bisa diartikan juga sebagai seseorang yang sangat mencintai buku hingga begitu protektif terhadap koleksi pribadinya.
Salah satu ciri yang paling terlihat adalah keengganan meminjamkan buku kepada orang lain. Di mata sebagian orang, sikap ini mungkin terlihat berlebihan, bahkan dianggap pelit.
Padahal, di balik itu ada bentuk cinta yang dalam terhadap buku. Kebanyakan dari pencinta buku mereka akan sangat merawat buku yang mereka punya dengan sebaik-baiknya.
Bagi seorang bibliotaph, buku bukan sekadar koleksi biasa yang bisa dipinjam sembarang orang. Setiap halaman menyimpan kenangan, nilai emosional, hingga jejak perjalanan hidup.
Maka tak mengherankan jika mereka sangat hati-hati terhadap siapa buku itu dipinjamkan. Bukan karena tidak ingin berbagi, melainkan karena takut buku tersebut tak kembali, atau kembali dalam kondisi yang menyedihkan seperti halaman terlipat, sampul rusak, hingga penuh noda.
Sering kali, buku yang dipinjam tidak mendapat perlakuan layak dari peminjam. Tak sedikit kasus buku tidak dikembalikan tepat waktu, atau bahkan menghilang tanpa kabar.
Ini yang membuat banyak pencinta buku menjadi lebih selektif dalam meminjamkan bukunya kepada orang lain. Meminjamkan buku, bagi mereka adalah bukan perkara sederhana, melainkan urusan kepercayaan.
Namun, bukan berarti bibliotaph menutup diri dari orang lain. Kebanyakan dari mereka tetap ingin berbagi bacaan, asal peminjam bisa memahami dan menghargai aturan tak tertulis.
Aturan yang biasanya harus dipatuhi adalah harus mengembalikan dalam kondisi baik, tepat waktu, dan memperlakukan buku seolah itu milik sendiri. Karena, menghargai buku adalah bentuk menghargai pemiliknya.
Layaknya meminjam buku di perpustakaan, seseorang juga perlu mengetahui kapan mereka harus mengembalikan buku serta buku yang di pinjam harus dijaga dengan baik kalau tidak mau kena denda karena terlambat mengembalikan atau buku yang dipinjam rusak.
Terlebih lagi, jika buku yang dipinjam adalah koleksi terbatas atau edisi khusus, perasaan waswas itu menjadi berlipat ganda.
Buku-buku jenis ini sering kali tidak lagi dicetak ulang, memiliki desain sampul eksklusif, atau bahkan ditandatangani langsung oleh penulisnya.
Nilai emosional dan sejarah yang melekat pada buku seperti itu jauh lebih besar daripada sekadar harga pasar. Maka wajar jika pemiliknya sangat berhati-hati, bahkan enggan meminjamkannya sembarangan.
Bukan karena berlebihan, tapi karena tahu bahwa jika buku itu rusak atau hilang, menggantikannya akan sangat sulit atau bahkan mustahil.
Fenomena ini menunjukkan bahwa buku memiliki posisi istimewa dalam hidup seseorang. Buku bisa menjadi teman di masa sulit, penghibur dalam kesepian, atau sumber inspirasi dalam diam.
Itulah mengapa meminjamkan buku juga bisa terasa seperti melepas bagian kecil dari diri sendiri. Tapi bagi para peminjam yang bisa merawat buku layaknya miliki sendiri, seorang bibliotaph pasti memberikannya dengan percuma.
Bagi siapa pun yang pernah ingin meminjam buku dari seorang bibliotaph, tak ada salahnya untuk memahami sudut pandang ini sebelum memutuskan meminjam buku padanya.
Tak semua orang nyaman melepas koleksi berharganya. Jika kepercayaan itu diberikan, rawatlah buku itu sebaik mungkin. Anggap itu bukan sekadar pinjaman, tapi bentuk penghargaan terhadap kepercayaan dan cinta terhadap literasi.
Dalam ekosistem literasi yang sehat, menghargai buku dan pemiliknya adalah bentuk solidaritas sesama pembaca buku. Pada akhirnya, sayang pada buku bukan berarti pelit, tapi bentuk menghargai hal terkecil dari apa yang kita miliki.