Gambaran Masa Depan yang Absurd dalam Cerpen Sayaka Murata 'Final Days'

Hernawan | Wahid Kurniawan
Gambaran Masa Depan yang Absurd dalam Cerpen Sayaka Murata 'Final Days'
Freeman's Change (@applebooks)

Ada satu hal menarik yang saya dapati begitu menyelesaikan cerita pendek karya Sayaka Murata yang berjudul Final Days (Freeman’s Change Issue, 2021). Sama seperti karya yang lain, cerpen itu masih diterjemahkan oleh penerjemah Ginny Tapley Takemori. Dan sama seperti karyanya yang lain pula, cerpen itu tak terbebaskan dari kekhasan Sayaka Murata: absurditas.

Namun, berbeda dengan dua novelnya yang lain, Convenience Store Woman (Grove Books, 2018) dan Earthlings (Grove Books, 2020), yang masih berpijak pada situasi terkini, Final Days justru mengambil langkah juah dengan setting dunia masa depan saat dunia medis sedemikian maju, hingga penyakit atau luka separah apapun bisa disembuhkan. Bahkan dikatakan “kalau kita meninggal dalam kecelakaan atau dibunuh seseorang, teknologi medis saat itu bisa menghidupkan kita kembali”.

Di dalam cerita, situasi itu dijelaskan ada pada 100 tahun setelah perawatan medis mengalami kemajuan yang begitu pesat. Saking pesatnya, orang-orang sampai tidak mengalami penuaan. Uniknya, jumlah penduduk tidak meledak atau berkurang, atau dengan kata lain jumlahnya stabil dari tahun ke tahun.

Atas keadaan itu, orang-orang pun menganggap kematian menjadi sesuatu yang dinantikan. Ada banyak cara yang bisa dipilih saat seseorang sudah merasa dekat dengan ajalnya. Hal itu terlihat saat narator kisah ini, sekaligus tokoh utama kita, menuturkan buku-buku yang ada di toko buku pun berisi panduan dan cara-cara untuk mati: Sempurna untuk Perempuan! 100 cara yang Cantik untuk Mati, Mati Seperti Laki-Laki! Bagaimana Meninggalkan Kesan dalam Kematian; Sepuluh Cara Terampuh Bagi Pasangan untuk MatiBerilustrasi. Adapun yang dipilih si narator saat merasakan kematiannya sudah dekat adalah Mari Mati secara Natural! Kematian Aduhai untuk para Orang Dewasa & Tempat Terbaiknya.

Perasaaan bahwa kematian sudah dekat, itulah yang dirasakan si tokoh utama sekaligus hal yang menyambut pembaca begitu membaca kalimat pertama dari cerpen ini. Saat tahu ajalnya sudah dekat, maka si tokoh utama yang tak bernama itu pun menyiapkan segala sesuatunya: Dimulai dengan mengosongkan barang-barang di apartemennya, pergi ke balai desa demi mendapat jaminan “tidak ada tindakan medis apa pun, sekalipun tubuhnya sudah ditemukan”, pergi ke apotek dan mengambil obat supaya ia mati dengan tenang, sampai mengikuti buku panduan kematian itu dengan pergi ke pelosok pegunungan dan menentukan di mana ia akan mati serta menggali lubang untuk dirinya sendiri. Uniknya, semua hal itu ia lakukan seorang diri, bahkan untuk perkara menggali lubang dan mengubur tubuhnya dengan tanah di tempat yang dipilihnya itu. 

Hingga pada akhirnya, itu semua tentang kematian yang menenangkan. Demikian si tokoh utama menginginkan kematian seperti apa yang dialaminya. Usianya kala itu tiga puluh enam tahun dan ia tinggal seorang diri, sehingga saat lonceng ajalnya sudah bisa ia dengar, ia dengan senang hati menyambutnya, mengikuti nalurinya untuk mati setenang mungkin. Apa makna kematian dalam semesta cerpen Final Days ini? Kendati terhitung cerita yang pendek, cerpen ini praktis membuat saya merenungkan pertanyaan itu dan masih menebak-nebak tentang jawabannya. 

Barangkali, bagi si tokoh utama dan penduduk lain pada zaman cerita itu mengambil tempat, kematian memang bukan sesuatu yang ditakutkan. Ia justru dianggap seperti teman karib kita yang sudah lama tak bertemu, lalu datang menemui kita dan tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain memeluk dan menyambutnya dengan tangan terbuka.

Itulah esensi kematian yang diamini oleh mereka. Kita pun bisa menguatkan dugaan itu dengan mencermati atribut buku-buku yang ada di toko buku, yang kesemuanya membicarakannya tentang persiapan dan cara-cara untuk mati. Dalam salah satu adegan, saat si tokoh utama mencari tempat yang pas untuk mati di pelosok pegunungan, kita juga ditunjukkan gambaran aneh nan sadis, yaitu ada sepasang kekasih yang saling menikam dengan pisau dengam kegembiraan.

Di samping itu, ada dugaan lain bahwa barangkali, orang-orang telah terlalu suntuk menjalani kehidupan. Sebab, dijelaskan pada awal-awal kisah kalau situasi pada saat itu menunjukkan kemajuan teknologi medis yang teramat maju. Perkara orang yang mengalami kematian akibat pembunuhan atau kecelakaan pun bisa disembuhkan. Teknologi benar-benar sudah merambahi tatanan kehidupan mereka, dan itu dibuktikan dengan kemampuannya dalam menentukan hal yang selama ini mustahil: Penentuan kematian seseorang.

Dengan adanya teknologi, orang bisa saja disembuhkan atau dihidupkan kembali seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Tapi, toh kuasa untuk menentukan mereka benar-benar mati atau tidak, untungnya, masih dipegang oleh setiap individunya. 

Hal itu tergambarkan dari jalan cerita si tokoh utama, yang sebelum pergi menjemput kematiannya dengan tenang, ia terlebih dahulu menandatangi surat izin di balai kota yang menjanjikan “tidak ada perawatan medis apa pun” yang bisa menyelamatkanya. Ia merasa kematiannya sudah dekat dan ia tidak ingin ada yang menundanya. Titik. 

Esensi soal kematian pada suatu zaman yang berbeda itulah, yang saya kira, menjadi poin menarik dalam cerpen ini. Betapa situasi yang sedemikian berbeda, ternyata membuahkan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga pula. Di kepala Sayaka Murata, kemungkinan-kemungkinan itu menjelma, salah satunya, menjadi ide “apa yang terjadi pada zaman ketika kematian menjadi sesuatu yang dinantikan?” Dan ia telah memberikan jawabannya lewat kisah dalam cerpen ini. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak