Gadis Minimarket awalnya ditulis dalam bahasa Jepang. Judul aslinya yaitu Konbini Ningen, kemudian diterjemahkan ke 36 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Di Jepang sendiri, Gadis Minimarket konon terjual lebih dari satu juta eksemplar dan di tahun 2016, novel ini diganjar Akutagawa Prize.
Gadis Minimarket menceritakan kehidupan Keiko Furukura, perempuan berusia 36 tahun yang menghabiskan setengah dari usianya untuk bekerja paruh waktu di sebuah minimarket. Bagi orang-orang, Keiko dianggap aneh: kenapa mau dan suka hati menghabiskan waktu selama 18 tahun untuk “hanya” bekerja paruh waktu? Padahal Keiko lulusan perguruan tinggi, padahal kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tetap, terbuka buat dia.
Keiko semakin dianggap aneh, karena di usia kepala tiga akhir, dia belum menikah atau tepatnya tidak menikah. Pacar pun dia tidak punya. Walau begitu, Keiko bahagia dengan hidupnya. Dia merasa puas dengan kegiatan yang selama belasan tahun dia jalani. Dia tidak memikirkan lain-lain hal di luar zona nyamannya, di luar preferensinya. Namun, orang-orang justru meributkannya. Mereka mempertanyakan, menginterogasi, mengintimidasi, dan coba mengintervensi kehidupan pribadi Keiko. Dengan harapan, Keiko sembuh dari keanehannya dan bisa hidup “normal” seperti manusia lainnya.
Tokoh sentral lain dalam novel Gadis Minimarket ini adalah Shiraha, laki-laki yang juga berumur 30-an akhir. Sama seperti Keiko, Shiraha juga dijuluki sebagai orang aneh, karena perilakunya yang selalu tidak mainstream. Bedanya, sebagai pekerja paruh waktu di minimarket, dia jauh dari kata berdedikasi dan tanggung jawab. Pekerjaan utamanya adalah bermalas-malasan, mengeluh, dan memaki orang-orang sambil berkhayal bisa menikahi perempuan kaya raya.
Lewat novel ini, Sayaka Murata mengajukan gugatan: apa definisi normal itu? Bagaimana standar normal itu? Mengapa segala sesuatu yang kelihatan berbeda dengan kebanyakan orang, dianggap tidak normal? Sebenarnya, siapa yang menentukan, satu hal bisa dikatakan normal, sedang hal lain disebut abnormal? Kenapa ada orang-orang yang begitu diskriminatif tehadap orang lain yang dianggap “berbeda” padahal perbedaannya itu tidak merugikan dan bukan suatu kejahatan?
Gadis Minimarket memiliki alur cerita maju dan lurus. Konfliknya tidak kompleks. Akan tetapi, di dalam novel ini, terdapat banyak kritik sosial, kritik tehadap masyarakat modern. Topik dan kritik yang diangkat dalam novel ini, relatable dengan kehidupan di Indonesia. Mungkin, karena sama-sama orang Asia. Mungkin juga karena masyarakat Jepang hampir sama dengan masyarakat Indonesia yang menjadikan hal-hal pribadi atau hal-hal personal yang sesungguhnya tidak substansial atau tidak penting bagi orang lain, tapi malah jadi bahan sorotan dan konsumsi publik.
Yang menyenangkan adalah ending novel ini. Bikin lega. Saya tidak mau memberi tahu apa itu? Karena nanti, jatuhnya spoiler. Kelebihan lain, membaca novel ini, seperti tidak membaca novel terjemahan. Bahasanya enak, membumi, dan tidak kaku.