Patah Hati di Tanah Suci: Sebuah Perjalanan, Persembahan, dan Refleksi

Hayuning Ratri Hapsari | al mahfud
Patah Hati di Tanah Suci: Sebuah Perjalanan, Persembahan, dan Refleksi
Novel Patah Hati di Tanah Suci (Dok. pribadi/AM)

Perjalanan kadang memantik renungan mendalam. Terlebih, jika tempat yang dituju begitu bermakna spesial seperti Tanah Suci Makkah. Hal tersebutlah yang dialami Tasaro GK, novelis Tetralogi Muhammad Saw. 

Di novel berjudul Patah Hati di Tanah Suci, Tasaro GK mengungkapkan apa-apa yang dirasakan di Tanah Suci pada ayahandanya, sosok yang begitu ingin mengunjungi tempat tersebut sepanjang hidupnya. Patah Hati di Tanah Suci menjadi catatan persembahan Tasaro GK untuk sang ayah.

Di samping itu, perjalanan spiritual beribadah di Tanah Suci juga menjadi momentum yang sangat berharga bagi Tasaro GK. Sebab, ia akhirnya menginjakkan kaki di tempat kelahiran Rasulullah Saw. sosok yang dicintai dan dirindukan seluruh umat Muslim, yang mendorongnya menulis novel Tetralogi Muhammad Saw. 

Catatan perjalanan ini pun sekaligus menjadi napak tilas empat seri novel tentang Muhammad Saw yang telah ditulis oleh Tasaro GK. Kecintaan dan kerinduan kepada sosok Nabi Muhammad Saw. mendorong Tasaro GK menulis cerita. 

“Sang Nabi mesti hadir dalam cerita, lalu pembaca merasa tengah menyaksikan hari-harinya, menatap senyumnya, memahami petuah-petuahnya, mencintainya, meneladaninya,” jelas Tasaro. 

Permenungan dan napak tilas novel Tetralogi Muhammad Saw yang dilakukan Tasaro GK pada gilirannya juga membuatnya tenggelam dalam berbagai rasa. Terlebih, ketika ia mengingat sosok ayahnya yang telah tiada. 

Tasaro GK mencurahkan hatinya tentang sosok ayahandanya dengan liris, kadang getir, namun juga apa adanya. Begitu juga ketika mengungkapkan segala perasaan ketika mulai di kota Madinah dan memasuki Masjid Nabawi, ia mengungkapkan perasaannya tanpa dilebih-lebihkan. 

Tasaro GK menggambarkan suasana, pemandangan, orang-orang, para jamaah, dan perasaannya ketika memasuki Masjid Nabawi. Ia juga sempat mengomentari penampilan jamaaah dari negara lain yang memakai pakaian yang kurang pantas di dalam masjid, seperti celana ketat dan kaos oblong. 

Namun kemudian Tasaro menyadari jika tak seharusnya ia terlalu memikirkan, apalagi berprasangka terhadap orang lain di Masjid Nabawi. Ia pun berusaha fokus pada dirinya sendiri, melakukan salat malam dan berdoa. 

Sampai kemudian, ia mengambil buku bersampul merah yang berisi titipan doa dari teman-temannya di komunitas Keluarga T(j)inta. Di tiap doa yang dibacakannya, Tasaro merasakan begitu dalam adanya rintihan dan harapan.

Misalnya, doa harapan dari beberapa temannya agar suatu saat dimampukan hadir di tempat di mana Tasaro berada saat itu. Ini membuat hati Tasaro berdenyar. Di titik inilah, Tasaro GK seperti baru benar-benar menyadari betapa saat itu ia sedang berada di tempat yang dimimpikan dan diharapkan oleh juta,an umat Muslim di berbagai penjuru dunia.

“Sementara aku telah duduk di sana, lebih banyak lagi saudara seimanku yang masih menabung harapan, menyemai mimpi. Ketika itulah, rasa syukur membuatku tak berdaya, air mataku tumpah tanpa hendak kucegah” tulisnya (hlm 71). 

Pada akhirnya, catatan yang dituangkan Tasaro GK dalam buku ini akan membawa pikiran, perasaan, dan batin kita dalam berbagai pengalaman yang mengharukan, menggetarkan, sekaligus menggugah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak