"Cepetan! Jangan lama-lama!” teriakku pada Adrian.
“Woy jangan pergi duluan! Nanti aku diganggu setan!”
“Makanya kalau parkir motor tuh dekat jalan keluar. Jangan jauh begitu!”
“Mulutmu! Aku kan kesiangan! Jadi dapat pojok!”
“Makanya berangkat pagi!”
Elisa tertawa ngakak, meski ekspresinya bercampur dengan kengerian. Dan, kami bertiga pun cepat-cepat meninggalkan area sekolah yang sunyi, gelap, dan mengerikan.
Jadi, begini kronologinya.
Saat memasuki hari-hari santai setelah ujian semesteran, seluruh murid dibebaskan melakukan aktivitas apapun. Main bola, voli, basket, full ke kantin, ke perpustakaan, atau sekadar ngerumpi pun silakan. Nggak ada PR, nggak ada pelajaran.
Dan yang kulakukan? Menonton film horor The Conjuring, dan serial Insidious bersama teman-teman. Hingga bel pulang berbunyi, hanya tinggal aku, Elisa, dan Adrian yang tetap melanjutkan tontonan.
“Pulang saja gimana? Nih sekolahan sudah sepi,” kataku.
“Aku ngikut kamu, Fris. Kamu pulang, aku pulang,” tambah Elisa.
“Heh, ini sedikit lagi kelar kok filmnya,” Adrian bersikukuh tetap duduk.
Aku sudah mengemasi barang-barangku, dan tetap berniat pulang duluan. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30. “Besok lagi saja, Dri. Tuh lihat, sudah nggak ada orang lagi.”
“Bentar lagi habis kok ini.”
“Yasudah, aku dan Elisa pulang duluan. Kamu lanjut nonton sendiri saja. Besok spoiler lanjutannya,” tukasku beranjak berdiri.
Adrian menahan lengan bajuku dan Elisa, dan memberikan isyarat untuk duduk kembali. Bocah lelaki bertubuh tinggi tegap itu memberikan tatapan mata mematikan, yang sejalan dengan background-nya yang memang militer. Alhasil, kami berdua pun kicep dan duduk kembali.
Beberapa menit kemudian, film pun selesai dan kami segera beranjak pergi. Situasi sekolah sudah betul-betul sepi. Para murid, guru, bahkan bu kantin sudah nggak ada. Kecuali Pak Min yang masih membersihkan gedung barat.
“Gara-gara Adrian nih, kita kesorean!” makiku kesal. “Mana sekolahan ngeri banget lagi!”
Angin berhembus, dan membawa hawa dingin yang aneh. Ditambah langit yang tampak sedikit mendung, kami harus berlari ke parkiran sekolah luas yang terdapat di belakang gedung timur, tepatnya di belakang kelas kami.
Aku dan Elisa segera menstater motor kami yang memang posisinya cukup dekat dengan pintu keluar dan gerbang utama. Belum sempat kami menarik gas, Adrian berteriak dengan nada intimidasi.
“Jangan ada yang berani-berani pergi duluan! Tunggu aku!”
Bila tidak mengingat background-nya, dia pasti sudah kutinggalkan!
“Cepetan! Jangan lama-lama!” teriakku pada Adrian.
“Woy jangan pergi duluan! Nanti aku diganggu setan!”
“Makanya kalau parkir motor tuh dekat jalan keluar. Jangan jauh begitu!”
“Mulutmu! Aku kan kesiangan! Jadi dapat pojok!”
“Makanya berangkat pagi!”
Kami balas saling mengomel, bersamaan dengan Adrian berlari ke arah motornya yang jauh dari pintu keluar parkiran. Tempat ini tampak gelap karena tanpa lampu penerangan. Disusul dengan hawa dingin mencekam. Sunyi senyap. Namun rasanya seperti ada yang mengawasi kami lewat kaca-kaca jendela beberapa kelas, meski nggak ada siapapun yang tampak.
“Pak Min bukannya masih di gedung barat, ya Fris. Kok rasanya daritadi ada yang ngawasi kita?” bisik Elisa.
Aku mengangguk setuju.
Beberapa saat kemudian, kami bertiga sudah meninggalkan area sekolahan yang sepi, dan berbaur dengan keramaian lalu lintas jalan raya.
Keesokan harinya, saat situasi kelas masih santai seperti kemarin tanpa aktivitas berarti, Adrian melemparkan pertanyaan aneh. Suram. Namun penuh misteri.
“Kemarin pas masih di parkiran, kalian dengar suara apa?” tanya Adrian sambil memakan seporsi batagor.
“Nggak ada suara apa-apa, Dri,” jawabku. “Memang ada suara apaan?”
“Yasudah kalau nggak dengar apa-apa.”
Detik berikutnya, kami bertiga kompak meraba tengkuk kami masing-masing. Tiba-tiba merinding.