Hingga Batu Bicara adalah kumpulan cerpen bersama karya Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, dan Intan Savitri. Tiga belas cerpen yang ada dalam buku ini, mengangkat realitas perjuangan bangsa Palestina melawan penjajah durjana Israel.
Selain cerpen, di dalam buku ini, juga terdapat puisi karya Muhammad Yulius, berjudul Bagai Matamu Mata Kami, Palestina. Buku ini diluncurkan dalam rangka peringatan Intifadhah Palestina. Sebagian cerpen dalam buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Prancis.
Helvy Tiana Rosa menyumbangkan enam cerpen dalam buku ini. Lima di antaranya mengambil tokoh utama perempuan. Dan seperti karya Helvy lainnya, perempuan-perempuan dalam buku ini pun memiliki semangat juang menggelora, kendati dihimpit aneka keterbatasan dan kezaliman.
Sebut sebagai misal: Hanan, tokoh cerpen Hingga Batu Bicara. Saat kecil, orang tua dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. Rumahnya dirampas dan dia terpaksa hidup terlunta-lunta.
Namun tiap hari, dia berlatih melempar batu guna melawan penjajah durjana. Semata tergiang hadits yang disampaikan Abi sebelum menjumpai ajal.
"Kiamat tak akan datang, sampai tiba pertempuran kita dengan mereka. Hingga ... seluruh batu berbicara dan memberitahu kita: 'Ya hamba Allah, ini Yahudi di belakangku!'" (HR Bukhari dan Muslim).
Cerpen Bara Shafiyah adalah kisah paling bergelora dalam buku kumpulan ini. Menceritakan Shafiyah, gadis muda tomboy yang melawan sewenang-wenangan Israel dengan kekuatan dan kecepatannya berlari serta berkelahi.
Cerpen ini tak hanya mengangkat vitalitas dan daya juang perempuan. Tapi juga semangat berkorban untuk kemaslahatan yang lebih besar, kendati harus menjadikan diri sendiri sebagai martir.
Cerpen ini filmis dan karenanya pada akhir 1990-an, sempat dialihkan menjadi komik berjudul sama oleh Roel. Sempat pula dimuat secara bersambung di majalah Annida.
Maimon Herawati menyumbangkan empat cerpen. Yang paling menonjol adalah Dukamu , Palestina, Luka Semua. Cerpen ini menyoroti fakta getir tentang pemuda yang disekolahkan hingga jenjang perguruan tinggi agar dapat membela rakyat Palestina di kemudian hari. Faktanya, si pemuda justru kelak berkarib mesra dengan penjajah nista. Maimon menyajikan akhir cerpen ini dengan ending menghentak.
Intan Savitri menyumbangkan tiga cerpen yang semuanya disajikan layaknya film laga. Penuh aksi kamuflase, intrik, dan pembunuhan. Secara sajian, seru dan cukup asyik diikuti. Namun secara lapis makna, agak kurang mendalam.
Kendati begitu, seluruh cerpen dalam buku ini masih amat relevan dibaca zaman sekarang. Sebab gambaran realitas akan penderitaan rakyat Palestina masih terjadi. Demikian pula gambaran kebengisan penjajah Israel.
Membaca buku ini adalah ikhtiar melawan lupa sekaligus upaya menggalang dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.