Memilih Jomblo: Jangan Pernah Meremehkan Orang yang Belum Menikah

Hikmawan Firdaus | Sam Edy Yuswanto
Memilih Jomblo: Jangan Pernah Meremehkan Orang yang Belum Menikah
Buku Memilih Jomblo.[Dokumen pribadi/ Sam Edy]

Setiap orang berhak menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya. Memilih karier yang sesuai dengan bidang atau potensinya. Memilih hobi yang digemarinya. Termasuk memilih menikah atau tidak menikah.

Orang yang tidak, atau belum menikah, biasanya disebut kaum jomblo. Ada juga yang menyematkan panggilan “jomblowan” kepada laki-laki yang belum menikah. Dan panggilan “jomblowati” kepada perempuan yang belum menikah. 

Saya yakin setiap orang memiliki alasan-alasan (yang tentunya beragam) ketika dia memutuskan untuk tidak menikah. Dan kita tidak berhak untuk menghakiminya, mencemoohnya, apalagi menuduhnya tidak menjalankan perintah agama, karena nikah, sebagaimana dijelaskan dalam buku Memilih Jomblo karya KH. Husein Muhammad ini, hukumnya ada lima macam: wajib, haram, makruh, sunnah (mustahab/nadb) dan mubah (boleh/pilihan). Kelima hukum ini tentu bergantung pada kondisi atau keadaan orang yang akan menikah.

Jadi, sebagai orang dewasa dan berpikir bijaksana, alangkah lucunya bila kita sampai mengolok-olok dan menghakimi kaum jomblo. Kita tidak tahu, dan tak perlu tahu, alasan mereka mengapa tidak atau belum kunjung menikah. Yang perlu kita pahami adalah bahwa setiap orang yang belum atau tidak menikah itu tentu memiliki alasan-alasan khusus (yang bisa jadi bersifat rahasia dan tak ingin bila sampai diketahui oleh orang lain). Tugas kita adalah menghormati keputusannya dan tak meremehkannya. 

Dalam buku Memilih Jomblo ini diuraikan kisah para intelektual muslim yang tetap memilih jomblo dan terus berkarya hingga akhir hayat. Salah satu tokoh kenamaan yang dimaksud adalah Rabi’ah Al-‘Adawiyah Al-Bashriyyah. Lahir tahun 180 H. Betapa popularnya nama ini. Ia diingat orang, terutama dalam dunia sufisme, sebagai perempuan ikon cinta Tuhan (al-Hubb al-Ilahi). 

Rabi’ah adalah sosok pengabdi Tuhan. Ia sering mengunjungi pengajian para sufi. Salah satunya yakni mengunjungi Hasan al-Bashri, pemimpin para sufi terkemuka di zaman itu. 

Banyak teman yang mengolok-olok sikap hidupnya itu. Mereka seperti tak setuju dengan jalan hidup barunya. Rabi’ah mengatakan, “Duhai, Tuhan, mereka mencemoohku, lantaran aku mengabdi hanya kepada-Mu. Demi kemuliaan dan keagungan-Mu aku akan mengabdi kepada-Mu dengan seluruh darah dan napasku.”

Rabi’ah juga acap mengunjungi ahli fikih sekaligus sufi besar, Sufyan al-Tsauri, begitu pula sebaliknya, al-Tsauri sering mengunjunginya. Keduanya saling belajar dan terlibat dalam dialog-dialog cinta Tuhan yang sering membuat keduanya menangis dalam “khawf” (khawatir, cemas) dan “roja” (berharap akan kasih Tuhan).  

Rabi’ah tak menikah dan tak ingin menikah dengan laki-laki siapa pun. Ia menolak laki-laki yang datang kepadanya, sekaya, sebesar, dan setinggi apa pun keilmuan dan kehebatan laki-laki itu. Seluruh hidupnya diliputi oleh gairah cinta kepada Tuhan, tak ada yang lain dan tak ingin yang lain.

Hari-harinya disibukkan untuk menyebut nama-Nya, memuji-Nya, menyucikan-Nya dan merindukan-Nya. Malam-malamnya dihabiskan untuk menjalin keintiman bersama-Nya. Hingga ia menjadi ikon Cinta Tuhan sepanjang sejarah.

Sangat menarik menyimak dan merenungi kisah para intelektual muslim yang tetap hidup melajang hingga akhir hayat. Membaca kisah-kisah mereka, dapat membuat kita dapat lebih bijaksana dalam menyikapi orang-orang yang belum kunjung menikah. Jangan sampai kita mengolok-olok, menganggap remeh pada mereka. Semoga ulasan ini bermanfaat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak