Indonesia negara dengan berbagai macam jenis suku, budaya, bahasa, dan pulau yang amat banyak. Indonesia negara demokratis bergama, sehingga agama merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Konstitusi di Indonesia memberi kebebasan bergama kepada semua orang, dengan menganut agama dan keyakinan masing-masing.
Ada enam agama yang diakui oleh negara, yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Status agama adalah sesuatu yang harus diisi dalam sebuah kartu identitas, betapapun taatnya seseorang dalam menjalankan suatu agama. Maka agama dapat dikatakan sebagai ajaran yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Keyakinan agama di Indonesia antara agama dan budaya ini tidak dapat dipisahkan. Menurut pernyataan Habib Husein Ja'far, kebudayaan adalah ranah terbesar dari dimensi manusia, dan agama adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Ketika ada benturan antara budaya dan agama, maka agamalah yang harus dimunculkan. Sebab, agama merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Ini adalah salah satu cara untuk menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sastra hadir untuk memindahkan kebudayaan milik suatu generasi pada generasi berikutnya. Sastra menjadi suatu materi kebudayaan diajarkan supaya bisa dimiliki dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. HB Jassin mengimplikasikan bahwa sastra dan agama tidak harus selalu dipertentangkan. Namun mereka saling mengisi ruang kosong satu sama lain hingga mencapai derajat kesempurnaan sebagai manusia.
Sastra yang bersumber dari nilai masyarakat, yang mengandung nilai religius di dalamnya. Sastra religi dikenal sebagai salah satu genre yang rentan kehadirannya di masyarakat karena bersinggungan langsung dengan kepercayaan kepada Tuhan yang dimiliki oleh masyarakat dalam kelompok masyarakat Indonesia. Kehadiran sastra religius pada perkembangan kesusastraan Indonesia sebenarnya bukan fenomena yang baru lagi. Muncul dan mulai berkembang kembali pada periode reformasi hingga sekarang, membuat sastra religi memiliki kekhasan tersendiri yaitu menggabungkan sastra dengan agama.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah bisa disebut assabiqunal awwalun mulai menjadi pelopor dalam penulisan karya sastra agama. Karya sastra religinya kemudian terkenal, di antaranya Di bawah Lindungan Ka'bah, Merantau Ke Deli, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
Tidak semua penulis religi mencerminkan semangat keagamaannya dalam karya-karyanya. Ada seorang penulis yang dikenal agamis (pasif), tapi tulisannya tidak mencerminkan spirit keagamaan, bahkan terkadang “memainkan” Tuhan dan agama secara tidak tepat.
Memang, sebuah karya sastra yang berbicara tentang Tuhan dan agama jika tidak dimulai dari hati nurani dan imajinasi yang dipadukan dengan iman, hanya permainan kata-kata, pada gilirannya akan menghasilkan karya sastra yang sinis bahkan apatis terhadap Tuhan dan agama. Meskipun seperti itu, sastrawan selalu berusaha menanamkan nilai-nilai agama dan moral dalam setiap karyanya. Dengan demikian karya tersebut berhubungan dengan tanggung jawab hidupnya sebagai penulis dan hamba Tuhan.
Sebenarnya jauh sebelum banyaknya penerbitan karya fiksi saat ini, sejak zaman dahulu di Indonesia sudah banyak lahir karya-karya sastra religi. Karya paling menonjol di antaranya, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, kemudian ada Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Penulisan sastra religi tidak semata-mata didominasi oleh sastrawan Islam. Selain itu, penulis non-Islam seperti Rendra (sebelum masuk Islam), Iwan Simatupang, dan JE Tatengkeng banyak menulis karya sastra bernuansa religi.
Pengembangan sastra religi yang sifatnya luas hingga ke penjuru dunia. Religi dan kebudayaan sastra berkerabat untuk tumbuh bersama dalam khazanah kesusastraan di Indonesia. Sastra mejadi sarana untuk mengungkapkan perasaan religiositas yang dialami oleh sastrawan.