Setiap periode sastra memiliki ciri-cirinya sendiri. Ada banyak motivasi dalam penciptaan dan penerbitan sastra, termasuk sastra Indonesia. Banyak peristiwa penting yang terjadi dalam sastra Indonesia dijadikan ciri sastra.
Indonesia sangat lekat dengan sastra karena ciri-ciri sastra Indonesia menjadi topik yang menarik untuk dieksplorasi. Sastra di Indonesia dapat digunakan untuk mengkritisi suatu peraturan atau kebijakan.
Untuk lebih memudahkan dan memahami karakteristik sastra dari masing-masing periode maka dari itu kita harus membagikannya sesuai dengan angkatan sastra.
Berikut adalah ciri dan karakteristik sastra sesuai dengan angkatanya.
1. Angkatan Sastra Indonesia lama
Sekitar tahun 1500, setelah Islam menguasai Indonesia, lahirlah generasi sastrawan ini. Karya sastra lama adalah karya sastra yang bangkit dari budaya zamannya. Karya sastra generasi ini lebih bersifat moral, berisikan nasihat, pendidikan, ajaran agama, dan adat istiadat.
Puisi, pantun, gurindam, dan dongeng semuanya populer pada masa ini. Sastra diturunkan secara lisan pada generasi ini, terutama dari mulut ke mulut. Selain itu, pengarang karya sastra tersebut tidak diketahui atau anonim.
Ada pula beberapa ciri pembeda dari karya sastra Indonesia lama ini, yaitu:
- bahasa standar yang ketat;
- penyebutan dewa/raksasa;
- legenda kerajaan
- aspek agama yang kuat
- dalam sebuah karya sastra, jarang sekali dijelaskan mengenai latar tempat dan waktu ; dan
- kebanyakan sastra masih bersifat anonim atau tidak diketahui penulisnya
2. Angkatan Balai Pustaka
Pada tahun 1917, Angkatan Balai Pustaka dibentuk. Redaktur Balai Pustaka dipilih dari kalangan penulis/penulis dan ahli bahasa Melayu. Pasukan Balai Pustaka menghasilkan karya sastra seperti "Siti Nurbaya" karya Marah Roesli, "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar, dan "Salah Asuhan" karya Abdul Muis.
Karena balai pustaka ikut mengawasi, sastra di Indonesia mengalami banyak perubahan pada generasi ini, yang sejalan dengan tujuan dan aturan yang dibuat oleh balai pustaka, tujuanya yaitu untuk menghindari pembacaan cabul dan liar.
Karya sastra dari generasi ini memiliki beberapa ciri, antara lain:
- tidak mengandung aspek sentimen anti pemerintah,
- tidak menyinggung kelompok sosial tertentu, dan
- tidak mendukung salah satu agama yang ada
3. Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru merupakan reaksi terhadap kebijakan balai pustaka atau bisa dikatakan sebagai bentuk protes. Sastra kala itu lebih mementingkan nasionalisme dan kebangsaan. Oleh karena itu, para penulis zaman ini mewakili kelompok masyarakat yang beragam untuk berusaha menciptakan budaya persatuan bangsa Indonesia. "Rindu Dendam" karya J.E. Tatengkeng dan "Nyanyi Sunyi" karya Amir Hamzah adalah dua karya sastra dari generasi ini.
Jadi, Angkatan pujangga baru ini memiliki karakteristik umum seperti:
- Tema nasionalisme
- bertema tentang emansipasi wanita
- lebih menonjolkan kehidupan kaum-kaum intelekPolitik, dan
- pendidikan
4. Angkatan Tahun 1945
Situasi sastra pada generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. karena generasi 45 lahir pada masa pergolakan politik yang signifikan, yang mempengaruhi pola sastra yang berkembang. Pada masa ini banyak sekali karya puisi atau pantun.
Penulis di zaman ini lebih bebas atau ekspresif, karena tidak terikat oleh aturan yang sudah ada sebelumnya. Chairil Anwar adalah seorang penulis terkenal di Angkatan ini. Puisi "Aku" dan "Krawang-Bekasi" merupakan dua karyanya Chairil Anwar yang masih sering kita dengar sampai saat ini.
Karya sastra generasi ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- bentuknya bebas,
- isinya adalah realita, dan
- kisah tentang merebut kemerdekaan.
5. Angkatan 1950-an
Partai politik dan sistem parlementer telah mempengaruhi generasi ini, sehingga setiap partai politik memiliki lembaga budayanya sendiri, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan PKI. Semboyan Lekra adalah "seni rakyat" dan "politik sebagai panglima tertinggi", yang telah menyebabkan perpecahan di kalangan sastra Indonesia.
Akibat terhentinya kemajuan sastra yang berakhir dengan tragedi G30S PKI, yang kemudian kondisi ini sangat berdampak signifikan terhadap sastra Indonesia.
Adapun karakteristik sastra angkatan 1950, sebagai berikut :
- Pusat kegiatan sastra telah tersebar di seluruh Indonesia;
- nilai keindahan terbentuk melalui penggabungan ilmu pengetahuan dan pengetahuan asing berdasarkan standar nasional ; dan
- budaya daerah yang lebih dimajukan dalam rangka mengaktualisasikan sastra nasional Indonesia.
Karya sastra generasi ini antara lain "balada orang-orang tercinta," WS. Rendra. "Dua Dunia" karya Nh Dini, dan "Gadis Pantai" karya Pramoedya Ananta Toer.
6. Angkatan tahun 1966
Angkatan ini ada pada saat peralihan rezim dari orde lama ke orde baru. para sastrawan yang masuk angkatan 1966 diantaranya Taufik Ismail dengan karyanya "Tirani dan Benteng", karya Sutardji Calzoum Bachri "Amuk", dan karya Sapardi Djoko Damono "Dukamu Abadi".
Puisi dari generasi 66 ini memiliki kekhasan tersendiri, terutama dari segi bentuk dan pilihan kata. Puisi mantra, puisi mbeling, puisi imajinatif, dan puisi prosaik adalah jenis puisi yang yang muncul pada zaman ini.
Angkatan ini memiliki karakteristik antara lain:
- Bersifat politis,
- beraliran surealis, dan
- banyak kritik sosial.
7. Angkatan tahun 2000
Semangat para penulis generasi ini sangat terasa, terutama dalam mengangkat topik-topik yang masih tabu, seperti seks dan feminisme. Selain itu, karena banyaknya penulis Islam di lembaga Forum Lingkar Pena (FLP), maka ada beberapa penulis yang membahas masalah agama.
Penulis di masa ini memiliki banyak kebebasan untuk mengekspresikan diri dengan bahasa yang modern, dan tidak terbelenggu dalam bahasa baku seperti angkatan-angkatan sebelumnya.Tahukah Anda novel "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata? Itu adalah karya yang termasuk Angkatan 2000.
Selain itu, "Ayat-ayat Cinta" karya Habibburahman El-novel Shirazy dan novel "Negeri 5 Menara" karya Anwar Fuadi termasuk di antara 2000 karya sastra.
Karya sastra angkatan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Topik dewasa
- bebas dengan kata-kata dan makna; dan
- bersifat kontemporer
- menggunakan bahasa yang bebas dan tidak baku
Secara garis besar, ciri dan karakteristik sastra di Indonesia berkembang sesuai dengan peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi pada seriap angkatan.