Saya yakin setiap orang mengerti bahwa korupsi termasuk tindakan tercela yang harus dijauhi. Ironisnya, banyak orang terjerumus ke dalamnya. Mirisnya, mereka yang terjerat korupsi biasanya dari kalangan berpendidikan tinggi seperti para pejabat atau anggota dewan.
Buku berjudul “Setengah Hati Memberantas Korupsi!” mencoba mengurai sederet kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Prof. Dr. Ir. Asep Saifuddin, M.Sc, dalam endorsement buku ini berpendapat: "Memberantas korupsi di Indonesia bagaikan mengurai benang kusut sehingga terlihat tidak pernah tuntas. Para penegak hukum tersandera oleh persoalan korupsi itu sendiri. Sayangnya kesempatan emas reformasi tahun 1998 tidak dimanfaatkan untuk dijadikan titik awal pemberantasan korupsi yang serius."
Emerson Yuntho dalam tulisannya, “Menjerat Korupsi Korporasi” menyatakan, Di negeri ini tidak ada yang meragukan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi. Selama hampir empat belas tahun KPK bekerja, sudah puluhan orang ditangkap melalui operasi tangkap tangan, ratusan kasus korupsi telah ditangani dan pelakunya dijebloskan ke penjara dan triliunan rupiah uang negara berhasil diselamatkan.
Namun, di balik prestasi luar biasa tersebut ternyata terdapat satu pelaku yang belum dijerat oleh KPK, yaitu korupsi yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sudah ditegaskan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak saja orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi (halaman 50).
Salah satu korupsi yang berhasil diungkap yakni tentang pengadaan KTP elektronik. Febri Hendri, dalam tulisannya, “KTP El dan Korupsi Berulang” membeberkan: menarik mencermati reaksi publik dan politisi atas persidangan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.
Publik marah dan mengecam tindakan pelaku dan penerima suap dalam kasus korupsi ini. Reaksi berbeda justru ditunjukkan politisi di DPR. Sebagian mereka membela pelaku dan penerima suap dari kalangan DPR. Bahkan, mereka menyerang balik KPK melalui pernyataan publik serta sosialisasi revisi UU KPK.
Di balik kehebohan kasus ini, ada fenomena menarik lain yang luput dari perhatian publik, yakni korupsi pengadaan KTP elektronik merupakan pengulangan modus korupsi yang pernah diusut KPK atau penegak hukum sebelumnya. Penggelembungan anggaran dan rekayasa pengadaan disertai suap pengusaha kepada pimpinan DPR, fraksi, anggota DPR, panitia lelang, dan pejabat tinggi adalah modus yang jamak terjadi dalam korupsi pengadaan (halaman 54).
Membicarakan korupsi yang terjadi di negeri ini seolah tak ada usainya. Terbitnya buku kumpulan esai yang ditulis ini sederet penulis dengan latar belakang beragam, dapat dijadikan renungan dan semoga bisa menyadarkan para penguasa untuk mengindari praktik-praktik korupsi yang merugikan banyak pihak.