Kesejahteraan masyarakat (dalam berbagai aspek) merupakan persoalan yang hingga saat ini masih harus terus diupayakan. Pemerintah adalah pihak yang mestinya paling bertanggung jawab terkait hal ini.
Dalam buku “Paradigma Negara Kesejahteraan” diungkap bahwa ciri utama negara kesejahteraan adalah penerapan jaminan sosial universal, bisa meliputi asuransi kesehatan; dana pensiun untuk hari tua; ataupun adanya kompensasi bagi para pekerja, termasuk akses yang memadai dari para pekerja dan masyarakat kebanyakan.
Andung Eko Wijayanto dalam kata ‘Pengantar Editor’ buku terbitan Intrans Publishing (2021) ini menjelaskan, NKRI, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, didesain oleh founding father atau pendiri bangsa sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan secara singkat didefinisikan sebagai suatu negara yang diwakili oleh pemerintah. Pemerintah dianggap memiliki tanggung jawab dalam menjamin standar kesejahteraan hidup minimun bagi setiap warga negaranya.
Secara umum, negara-negara yang menganut welfare state harus melayani masyarakatnya dengan memberikan pelayanan publik seperti biaya pendidikan yang terjangkau, akses mendapatkan perumahan tidak sulit, biaya kesehatan yang murah, transportasi publik yang nyaman, mengakomodasi kelompok marjinal, menyediakan infrastruktur yang dapat digunakan oleh semua orang, dan memberikan bentuk-bentuk pelayanan sosial lainnya (Paradigma Negara Kesejahteraan, halaman v).
Pelayanan sosial dilakukan dalam dua bentuk layanan sosial yaitu institutional based dan non-institutional based. Institutional based adalah pelayanan sosial yang dilakukan di lembaga, salah satunya di panti sosial atau saat ini disebut sebagai balai/loka rehabilitasi sosial. Secara implementatif, pelayanan sosial sangat tergantung pada kehadiran negara, baik dari sumber daya pelaksana, sarana dan prasarana pelaksanaan, serta pendanaan. Adapun, non-institutional based atau layanan sosial nonlembaga adalah pelayanan sosial yang dilakukan melalui keluarga atau komunitas (Paradigma Negara Kesejahteraan, halaman 4).
Kita tentu tahu bahwa hingga kini, masyarakat di negeri ini masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan. Mestinya, masalah kemiskinan menjadi hal yang selalu diprioritaskan untuk segera dituntaskan. Tentu saja, untuk menuntaskan persoalan kemiskinan itu butuh proses yang tidak sebentar. Bila negara benar-benar serius mengatasi dan mencari jalan keluarnya, saya yakin solusi terbaik akan segera ditemukan.
Pengembangan masyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat utamanya masyarakat miskin menjadi agenda utama yang harus dilakukan. Memosisikan masyarakat miskin sebagai denyut nadi perubahan adalah mutlak adanya. Walaupun dalam faktanya, keterlibatan masyarakat miskin secara nalar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat miskin dalam hal tertentu menjadi problem serius, manakala didorong tampil sebagai lakon utama dalam pembangunan (Paradigma Negara Kesejahteraan, halaman 58).
Terbitnya buku “Paradigma Negara Kesejahteraan” yang ditulis oleh Atik Rahmawati, Abdus Salam, dan Luthfi J. Kurniawan semoga bisa menjadi bacaan yang mencerahkan, khususnya bagi pemangku kebijakan negeri ini.