Gampang dan sulitnya sesuatu sebenarnya sangat bergantung pada kebiasaan seseorang. Bila ia sering mempraktikkan suatu hal, misalnya sering meluangkan waktu untuk membaca buku, maka membaca buku akan menjadi sebuah kebiasaan yang mudah alias gampang.
Begitu juga dengan aktivitas menulis. Bagi sebagian orang mungkin terasa sangat sulit. Ya, menulis itu adalah hal yang sangat sulit bagi mereka yang tak pernah mempraktikannya. Bagaimana agar menulis itu terasa gampang dilakukan? Jawabannya adalah dengan rajin mempraktikkan dan membiasakannya.
Dalam buku “Menulis Artikel itu Gampang” karya Nurudin dijelaskan bahwa menulis adalah aktivitas merumuskan kembali berbagai masalah yang pernah dialami dan dibaca pada waktu lalu, direkonstruksi ulang dan dikompilasikan untuk diolah menjadi sebuah tulisan. Bisa jadi tulisan yang dibuat sekarang pernah seide, sama dan sebangun dengan tulisan lima atau sepuluh tahun lalu dari penulis yang berbeda.
Namun begitu, karena masing-masing orang berbeda dalam memberikan “bumbu” dan menyesuaikannya dengan kondisi (kebutuhan) masyarakat jadilah tulisan yang tetap enak dibaca. Tanpa pembaca berpikir bahwa tulisan itu pernah seide, sama, dan sebangun dengan tulisan lain dari penulis yang berbeda (Menulis Artikel itu Gampang, halaman 1).
Nurudin menjelaskan, orang menulis itu harus perlu proses. Ada tahapan demi tahapan. Sangat mustahil kalau Anda membayangkan saat itu juga langsung bisa menulis di “Kompas’ dan menjadi penulis terkenal sekaliber Goenawan Mohammad, A Muis, Mohammad Sobary, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau Ignas Kleden. Untuk menuju ke sana mesti ada proses-proses tertentu yang harus dilalui. Artinya, orang yang ingin berhasil menulis harus dimulai dari tulisan yang biasa-biasa saja, yang ringan dahulu bahkan secara teknis penulisan pun sangat sederhana. Tidak apa, semua itu bagian dari sebuah proses.
Banyak orang yang ingin menulis bertanya, sekolah mana yang bisa menghasilkan penulis handal? Apakah harus ada fakultas atau jurusan ilmu komunikasi? Jawabannya tidak. Kenapa? Sebab, sekolah-sekolah tersebut tidak semata-mata mencetak seorang penulis. Sekolah hanya sekadar alat mempercepat proses semata. Sedang cita-cita itu (menjadi penulis) bisa terlaksana atau tidak sangat tergantung pada yang bersangkutan (Menulis Artikel itu Gampang, halaman 14).
Menurut Nurudin, sekolah calon penulis adalah di masyarakat. Dengan kata lain, ia harus mengamati dinamika, gejolak sambil membuka buku untuk mengamati gejala itu atau mengutip suatu teori. Sedang di masyarakat, melalui pengamatan itu, ia akan mendapatkan “bahan dasar” tulisan.
Terbitnya buku “Menulis Artikel itu Gampang” karya Nurudin ini bagus dijadikan acuan bagi para calon penulis, atau siapa saja yang merasa tertarik ingin menekuni dunia kepenulisan. Semoga ulasan ini bermanfaat.