Puisi, sebagaimana bentuk karya sastra lainnya, bisa berperan sebagai rekaman sejarah. Sekian peristiwa yang merentang di berbagai zaman bisa menjadi muasal dari penciptaan karya puisi. Di Inggris zaman Anglo-Saxon, lazim bagi penyair menorehkan puisi, balada, dan soneta terkait para ksatria dan pahlawan yang berperang; juga kisah-kisah para raja yang berisi puja-puji dan hal-hal baik di sekitar mereka.
Namun, zaman terus bergerak, bentuk dan isi puisi pun berkembang seturut perubahan peradaban manusia. Maka tak perlu heran, kalau di zaman kiwari ini, bentuk puisi sudah melampaui pakem awal yang tertorehkan di kertas dengan sejumlah aturan-aturannya. Pembaca dikenalkan dengan puisi baru, seperti munculnya Insta-poet yang menjadi kekhasan zaman digital; dengan isinya menyoal diri dan kembara cinta, dengan bait-bait yang biasanya mudah diinterpretasikan.
Kemunculan jenis puisi baru dengan kekhasan coraknya itu tak lantas menggeser pakem puisi yang menahun telah ada. Bahwa bukan berarti penggalian tema-tema puisi hanya bersumber langsung dari gambaran kontemporer semata. Bahwa bukan berarti, penerbitan buku-buku puisi terhenti sebab medium penulisannya sudah bergeser ke laman digital.
Kekayaan medan penciptaan puisi terus terawat dengan adanya beberapa penulis yang tak terjebak dalam trend dan bisa menyingkap sekat-sekat zaman. Satu dari penulis yang menjajaki keberagaman tema menembus sekat zaman ini adalah Lailatul Kiptiyah.
Di dalam buku puisinya, Kata dan Batu (Divapress, 2023), Lailatul membentangkan hasil pengalaman kedirian, pengamatan, dan proses artikulasi dirinya di masyarakat. Bahwa sebagaimana yang disebut sebelumnya, Lailatul menjajaki medan penciptaan puisi yang tak hanya berasal dari pengalaman langsungnya di zaman ini; tetapi juga, ia mengarahkan lensa kreatifnya ke peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lampau.
Lensa itu yang dipakai dalam penciptaan puisi yang dijadikan judul buku, yaitu Kata dan Batu. Dari titingmasa di akhir bait, tampak puisi ini terinspirasi dari film Muhammad: The Messenger of God (2015) karya Majid Majidi. Pembaca pun langsung tahu kalau puisi ini menggambarkan kisah nabi Muhammad SAW kala mendapatkan wahyu pertamanya di Gua Hira.
Penanda peristiwa itu langsung disodorkan oleh Lailatul di bait pertamanya: Kata-kata jatuh/ ke ceruk batu/ seorang lelaki dengan/ luka-luka mencintaimu//. Pembaca bisa mengintepretasikan larik pertama sebagai wahyu, bahwa kata-kata merujuk ke pengetahuan, sesuatu yang adiluhung dan mulia.
Sementara di larik kedua, ke ceruk batu dapat dibaca untuk merujuk ke situasi kala itu, ketika zaman masih dipenuhi keterbelakangan moral dan nihil aturan agama. Dua larik itu menjadi gerbang dari kisah kala Rasul mendapatkan ayat pertama dari malaikat Jibril berupa: Iqro (Bacalah).
Satu hal yang menarik, bahwa Lailatul menggambarkan peristiwa itu secara kronologis. Ia membagi setiap babakan perjalanan dan menuangkannya dalam bait-bait yang berbeda. Di bait ketiga, ia menggambarkan diri Rasul yang berlari dari kejaran orang Arab yang hendak membinasakannya: Ia terus berlari/ dari pengejaran dari penyerbuan/ tiba di suatu bukit sebuah gerbang/ membuka//.
Upaya berlari itu lantas mengantarkannya ke muka gua Hira, tempat mulia ketika ia bertemu dengan malaikat Jibril. Begitu sampai di dalam, tak lupa, Lailatul menyimbolkan prosesi pemberian wahyu itu dengan dua larik yang sederhana: Diulurkannya dengan patuh/ sebuah kata//. Diksi patuh dianalogikan sebagai tindakan malaikat Jibril yang menuruti perintah Allah SWT, adapun sebuah kata tentu, diinterpretasikan sebagai wahyu berupa ayat pertama Al-Qur’an.
Penggambaran peristiwa itu lantas dipungkasi dengan dua larik di bait terakhir: Lalu Jibril menuntunnya,/ melewati cahaya yang pertama//. Babakan proses penerimaan wahyu Rasul itu digambarkan secara runtut, jelas, dan memikat. Kepiawaian Lailatul pun dapat kita lihat, bahwa ia memainkan larik demi larik puisinya dengan diksi-diksi yang minimal, tapi memarcik imajinasi pembaca untuk jauh menginterpretasikannya.
Kerap, puisinya tampak seperti babakan kronologis, tapi juga ada beberapa puisi yang menawarkan sebuah lanskap yang bisa dibayangkan. Kekayaan bentuk dan tema itu menjadi bukti kalau pengalaman, pengamatan, dan proses artikulasi diri Lailatul sedemikian terbentuk dengan matang.
Bahwa puisi yang dibabarkan, yaitu Kata dan Batu, memanglah dijadikan judul buku; tapi bukan berarti puisi ini menjadi yang utama. Kita bisa mendapati berbagai ragam amatan dan jejak pengalaman penulis dari puisi-puisi lainnya. Semua puisi itu tampil tanpa sekat, tak ada batasan yang menahan bentuk dan isinya. Dengan demikian, hal itu membebaskan pembaca dalam kembara imajinasi selama proses pembacaannya.