Novel Selamat Tinggal karya Tere Liye menyentil keras kebiasaan masyarakat yang masih gemar melanggengkan praktik pembajakan. Sekaligus menggambarkan perjalanan batin yang rumit seorang tokoh bernama Sintong Tinggal. Mahasiswa abadi yang kehidupannya mandek karena cinta, patah hati, dan pilihan hidup yang keliru.
Jangan mengira Sintong adalah mahasiswa pemalas yang bodoh hingga bertahan 7 tahun di kampus tidak lulus-lulus. Dia penulis hebat sejak SMA, tulisannya tajam dan berhasil menembus koran nasional. Menjadi bahan kuliah di kelas-kelas. Tapi penulis hebat seperti Sintong justru butuh 7 tahun kuliah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Identitas Buku
- Judul: Selamat Tinggal
- Penulis: Tere Liye
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Tahun Terbit: 2020
- Jumlah Halaman: 360 halaman
Sintong awalnya dikenal sebagai pemuda brilian. Kata-katanya tajam, tulisannya digandrungi, dan pikirannya melampaui teman-teman sebayanya. Namun, semua itu runtuh ketika ia terjebak dalam lingkaran cinta yang tak berkesudahan.
Ia kehilangan semangat menulis, skripsinya terbengkalai, bahkan kehidupannya hanya berputar di toko buku bajakan milik pamannya. Ironis, karena seorang pencinta literasi harus bertahan hidup dari penjualan karya bajakan yang justru merugikan para penulis.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Hidup Sintong yang muram mulai bergeser ketika ia bertemu Jess, seorang perempuan yang menghadirkan kembali cahaya dalam hidupnya.
Namun bukan hanya itu—kehidupannya berubah drastis setelah ia bersentuhan dengan karya Sutan Pane, penulis hebat era 1960-an yang hilang secara misterius. Dari sanalah, semangat Sintong untuk menulis dan menyelesaikan kuliahnya kembali bangkit.
Tere Liye dengan piawai menenun kisah ini menjadi perjalanan reflektif tentang bagaimana manusia bisa jatuh sedalam-dalamnya, namun selalu punya peluang untuk bangkit.
Selamat Tinggal bukan hanya tentang cinta dan keluarga, tapi juga tentang integritas, kejujuran, dan keberanian meninggalkan segala bentuk kepalsuan.
Sindiran Pedas untuk Pembajakan dan Kebodohan yang Membelenggu
Salah satu kekuatan novel ini adalah sindiran pedasnya. Tere Liye menohok langsung pada praktik-praktik pembajakan yang hingga kini masih marak di Indonesia.
Dari buku, film, software, hingga obat-obatan, semua diulas dengan gaya satir yang membuat pembaca merenung. Bahkan, marketplace besar yang sering menutup mata terhadap jual-beli barang bajakan juga ikut tersindir.
Lewat kisah Sintong, Tere Liye mengingatkan kita bahwa membeli barang bajakan sama saja dengan merampas hak pencipta. Penulis kehilangan royalti, penerbit merugi, dan ekosistem literasi pun terganggu. Tak heran jika pesan “katakan tidak pada bajakan” bergema kuat dalam novel ini.
Kelebihan dan Kelemahan Novel Selamat Tinggal
Kekuatan novel ini ada pada kritik sosial dan literasi (pembajakan, birokrasi, stigma mahasiswa), poin yang paling kuat dari novel ini adalah dua kritik sosial utama:
- Pembajakan buku dan lemahnya birokrasi
Tere Liye berhasil membuka mata pembaca bahwa pembajakan bukan sekadar “jual beli buku murah”, tapi sebuah industri ilegal yang meraup miliaran dan merusak ekosistem literasi. Fakta bahwa masyarakat bisa hidup dari hal yang haram dan birokrasi seolah membiarkannya, membuat tema ini terasa getir sekaligus tajam.
- Fenomena mahasiswa abadi
Lewat Sintong, Tere Liye mengangkat stigma sosial yang sering menempel pada mahasiswa yang terlambat lulus. Label “malas” atau “tidak kompeten” kerap dilempar begitu saja, padahal ada banyak faktor personal dan emosional yang lebih kompleks. Sintong menjadi cerminan betapa mudahnya publik menghakimi tanpa melihat sisi manusianya.
Tere Liye mengangkat isu mahasiswa abadi, lemahnya tata kelola literasi, hingga sindikat kecurangan yang terjadi di berbagai bidang. Narasinya kritis, namun tetap dibungkus dengan diksi puitis dan karakter yang hidup. Novel terasa segar dan relevan dengan problem masyarakat Indonesia hari ini.
Sementara untuk bagian cinta, bisa disebut sebagai titik yang pahit. Dan memang Tere Liye sering sekali menulis cinta dengan nuansa luka, penolakan, atau kehilangan. Pada Sintong, Mawar, dan Jess, Tere Liye menampilkan realitas bahwa cinta tak selalu hadir sebagai penyembuh, kadang justru menambah luka.
Sintong terlihat “bersemu-semu” dengan Jess, namun tetap menaruh hati pada Mawar yang justru mencampakkannya. Itu bikin konflik personal Sintong terasa abu-abu: antara masih terikat masa lalu, tapi ragu membuka diri pada kemungkinan baru.
Pesan Moral: Berani Mengucapkan “Selamat Tinggal”
Pada akhirnya, Selamat Tinggal mengajak pembaca untuk berani meninggalkan hal-hal yang salah. “Selamat tinggal kebohongan, selamat tinggal pembajakan, selamat tinggal kepalsuan,” begitu pesan yang terasa menggaung.
Hidup, kata Tere Liye, adalah kesesuaian antara perkataan, tulisan, dan perbuatan. Bila ketiganya bertolak belakang, maka hilanglah martabat seorang manusia.
Novel ini menjadi cermin, sekaligus alarm pengingat. Bahwa kita semua mungkin pernah salah, pernah tergelincir, bahkan menyakiti orang lain. Namun selalu ada ruang untuk berubah, memperbaiki, dan menebus kesalahan.
Membaca novel ini bukan hanya menghibur, tapi juga menampar. Ia membuat kita bertanya: sudahkah kita jujur pada diri sendiri? Atau masih terjebak dalam kebiasaan menutup mata terhadap kecurangan yang kita anggap sepele?
Karena sejatinya, ucapan “Selamat Tinggal” adalah awal untuk hidup yang lebih merdeka, jujur, dan bermartabat.