Salah satu buku favorit saya saat ini adalah kumpulan esai. Alasannya karena biasanya esai-esai tersebut berdasarkan dari pengalaman penulisnya atau dari beragam kejadian yang ada di sekitar kita. Yang menarik kita bisa merenungi pelajaran berharga atau hikmah dari tulisan esai tersebut.
Buku berjudul “Sentilan Kosmopolitan” karya Mujiburrahman misalnya, merupakan salah satu buku kumpulan esai yang menurut saya sangat menarik. Esai-esainya menggugah, begitu mudah dipahami serta bahasanya sangat mengalir. Penulisnya juga sangat kritis menyikapi beragam fenomena atau kejadian di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu esai yang menarik disimak berjudul “Labirin PNS”. Sebagaimana kita ketahui bersama, ketika ada pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) biasanya akan diserbu oleh mereka yang sudah bergelar sarjana.
Ribuan kaum terpelajar penyandang gelar sarjana kembali mengadu nasib. Semua kiranya sadar, bahwa jumlah lowongan yang tersedia amatlah sedikit dibanding para pendaftar yang membludak. Tapi apa boleh buat. Namanya juga untung-untungan. Kita semua tentu maklum, bahwa di negeri ini mencari kerja bukanlah hal yang mudah, termasuk bagi para sarjana. Apalagi jika sang sarjana berasal dari keluarga miskin yang berjuang mati-matian agar bisa kuliah (hlm. 31).
Kita lalu meraba-raba, apa gerangan yang menyebabkan PNS begitu diminati? Mungkin karena ada jaminan pensiun di hari tua. Mungkin pula karena status sosial yang cukup terhormat dan ada peluang jadi pejabat. Tak menutup kemungkinan juga karena pekerjaan PNS dianggap tidak berat, sedangkan gajinya lumayan (hlm. 32-33).
Esai menarik lainnya karya Mujiburrahman yang bisa disimak berjudul “Dendam Tak Sudah”. Esai ini mengkritisi kegiatan orientasi para peserta didik baru, mulai SLTP hingga perguruan tinggi. Selama ini, masih banyak sekolah dan perguruan tinggi yang membuat orientasi identik dengan perpeloncoan. Akibatnya, masa orientasi adalah mimpi buruk bagi para siswa atau mahasiswa baru, dan ajang pelampiasan dendam bagi para senior.
Seperti dicatat oleh Marah Rusli dalam romannya, “Siti Nurbaya”, perpeloncoan yang disebut “ontgroening” adalah warisan pendidikan Belanda. Misalnya, para siswa baru disuruh melewati jalur sempit disebut “Selat Gibraltar” dan di kiri kanannya, para senior bergantian memukul para junior yang lewat. Aksi kekerasan ini, kata Marah Rusli, akhirnya menanamkan rasa saling benci antar siswa pribumi. Mereka berpecah belah, dan karena itu, gampang dijajah (hlm. 20-21).
Masih banyak esai-esai menarik lainnya yang bisa direnungi hikmahnya dalam buku “Sentilan Kosmopolitan” karya Mujiburrahman yang diterbitkan oleh penerbit Kompas tahun 2013 ini. Selamat membaca dan menemukan pelajaran dari esai-esai menarik dalam buku ini.