Ulasan Buku 'Sungai yang Memerah', Membuka Ingatan dari Peristiwa G30S PKI

Hayuning Ratri Hapsari | Fathorrozi 🖊️
Ulasan Buku 'Sungai yang Memerah', Membuka Ingatan dari Peristiwa G30S PKI
Buku Sungai yang Memerah karya Aguk Irawan MN (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Boleh dikata, inilah buku pertama yang memperkenalkan saya dengan karya-karya Aguk Irawan MN berikutnya. Buku Sungai yang Memerah ini telah mengajak saya untuk berkenalan dengan buku-buku karya Aguk Irawan MN yang lain pada terbitan-terbitan selanjutnya. Dengan rasa ketagihan yang membuncah di dada, pada kesempatan lain saya terus memburu karya-karya terbaru pria asal Lamongan, Jawa Timur ini.

Maka, saya pun juga mengenal karya-karyanya yang lain dengan cara membelinya, seperti Titip Rindu ke Tanah Suci, Peci Miring, Air Mata Tuhan, Tuhan, Maaf Engkau Kumadu, Cahayamu Tak Bisa Kutawar, Penakluk Badai, Haji Backpacker, Patah Hati Terindah, Maha Cinta, dan lain sebagainya.

Delapan cerita yang terhimpun dalam buku setebal 125 ini, sebagian kecil membuka rahasia Aguk terhadap apa yang ia rasakan, alami, bahkan soal mimpi yang paling pribadi. Pandangannya tentang cinta, sosok perempuan, kenangan kampung halaman, juga impian-impian.

Sebagian juga berisi pandangan kritis tentang norma, syariat, dan ritual. Sebagaimana dalam karya-karya Aguk yang lain, di buku ini pun ia juga menyempurnakan tuturannya dengan lembut serta berbahasanya yang rapi.

Cerita dengan judul Sungai yang Memerah dalam buku ini terdapat pada urutan pertama. Cerita ini mengangkat peristiwa gerakan 30 September 1965 yang meledakkan penderitaan tak habis-habis hingga 40 tahun kemudian. 

Mulanya, waktu itu sungai menjadi bagian denyut kehidupan penduduk desa Weru, Magetan. Di sungai, mereka mandi menyegarkan tubuh sepulangnya dari sawah. Pagi-pagi ibu-ibu desa mencuci beras, mencuci pakaian kotor, bahkan memandikan kambing, kerbau dan sapinya di sungai. 

Tetapi, tiba-tiba di pagi sekali, banyak orang berteriak ketika menyaksikan warna air sungai berubah menjadi merah dan amis. Banyak potongan kepala manusia dan anggota tubuh lain yang terapung di sungai. Sejak peristiwa itu, sungai menjadi sepi sampai sekarang.

Sehari sebelum sungai itu memerah, ayah Wan, dan banyak kaum laki-laki di kampung itu, juga kepala desa, hilang diculik oleh pasukan berseragam.

"Dan ayahmu, Wan, melihat kenyataan seperti itu, sebagai ketua RT, tak mau diam. Ayahmu senang sekali berbicara politik. Tiap pagi rajin nguping berita di RRI tetangga. Ayahmu lalu kumpul-kumpul di kecamatan. Dan saat ayahmu mengikuti perkumpulan yang kedua kali. Di waktu malam setelah itu, tiba-tiba ada orang-orang berseragam tentara datang ke rumahmu. Ia menendang ayahmu, menendang apa saja, piring-piring, gelas-gelas, lemari dan tak lupa melepaskan ikatan kerbau milik kita," suara ibu terbata-bata. (hlm. 9).

Membaca buku terbitan September 2005 ini, dapat membuka ingatan kita akan kejamnya G30S/PKI itu, hingga menciptakan penderitaan yang berlangsung lama.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak