Kebijaksanaan adalah kepandaian mengendalikan diri dan tepat mengambil pilihan bersikap. Orang dengan kebijaksanaan tinggi mampu melihat dari berbagai sisi terhadap sesuatu, cermat menganalisa serta tidak terburu-buru membuat penilaian. Ia mampu menghasilkan keputusan yang cukup adil bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Sepanjang hidupnya, manusia akan mempelajari pelajaran menjadi bijaksana. Interaksi dengan orang lain, bahkan dengan diri sendiri, akan senantiasa menjadi ruang kelas dalam mempelajari kebijaksanaan.
Dari dirinya, manusia bisa belajar merumuskan formula hidup versinya sendiri saat menilik ke masa lalu. Dari orang lain, manusia akan mendapat tambahan asupan kisah bergizi. Jika mempelajari sejarah hidup tokoh-tokoh besar, maka dapat dikatakan seperti berenang dalam danau yang amat luas: airnya menyegarkan dan memberi manfaat yang seperti tak akan habis.
Salah satu tokoh besar yang amat layak kita pelajari jalan hidupnya adalah Yang Mulia Dalai Lama ke-14, sang tokoh spiritual dan pemimpin politik Tibet. Beliau yang bernama kecil Lhamo Dhondup merupakan contoh hidup dari pemilik kebijaksanaan sejati. Dalam tradisi keagamaan di Tibet, Dalai Lama baru diyakini sebagai reinkarnasi dari Dalai Lama terakhir.
Beliau ditemukan oleh para biksu Lhasa (ibukota Tibet), dua tahun setelah wafat Dalai Lama ke-13. Proses penemuan beliau pun tidak secara sembarangan. Para biksu mengumpulkan ribuan data anak-anak yang baru lahir serta melakukan banyak meditasi. Tak berhenti di situ, mereka juga melaksanakan serangkaian pengujian untuk memantapkan keyakinan bahwa si anak memang benar titisan Sang Biksu. (h. 16)
Ujian yang dilakukan berupa tes pengenalan barang-barang pribadi milik mendiang Dalai Lama, dengan cara membiarkan si anak bermain sendiri dengan barang-barang tersebut. Ujian itu tidak mudah karena akan ada banyak duplikasi dari barang yang asli. Para biksu yang pernah dekat dengan Dalai Lama juga menanyakan nama-nama mereka kepada si anak.
Setelah itu dilanjutkan dengan melihat kemiripan ciri fisik si anak dengan Dalai Lama. Ketika ditemukan dalam usia 2 tahun, Lhamo Dhondup berhasil melewati ujian-ujian tersebut dan meyakinkan para biksu bahwa benar ia adalah titisan Dalai Lama terakhir. Sebelumnya para bisku sendiri telah mendapat ilham tentang keberadaan rumah tinggal Lhamo Dhondup. Ditambah, pada waktu kelahirannya terjadi sebuah peristiwa alam yang sangat menakjubkan. (h. 24)
Lhamo Dhondup setelah penobatannya sebagai Dalai Lama ke-14 menyandang nama Jetsun Jamphel Ngawang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso, untuk kemudian hanya disebut Tenzin Gyatso. Beliau menjalani pendidikan biksunya di istana Lhasa hingga usia 15 tahun, kemudian terpaksa mengungsi ke Dharamsala di India saat terjadi Pemberontakan Rakyat Tibet pada Tiongkok di tahun 1969.
Di pengasingan, beliau melanjutkan tidak hanya pendalaman terhadap ilmu agama Buddha, tetapi juga mempelajari ilmu lain semacam fisika, astronomi dan filsafat. Selain itu, ia juga mampu menguraikan teks klasik Buddhisme dalam bahasa yang lugas dan inspiratif. Kehausannya akan ilmu berbanding lurus dengan produktivitasnya dalam dunia literasi. Tercatat, beliau telah menulis 110 buku dengan tema yang beraneka ragam. (h. 19)
Melalui karya-karyanya, beliau mengajarkan bagaimana meraih ketenangan pikiran dan kedamaian hidup. Ia juga banyak berbicara soal kesetaraan gender dan pluralisme serta penguatan ekonomi bangsa.
Di mata dunia, beliau adalah contoh seorang tokoh yang mampu memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin religi dan politik dengan sangat baik. Di ranah politik, ia gigih menyuarakan kemerdekaan rakyat Tibet. Walaupun telah 60 tahun tidak tinggal di negerinya sendiri, beliau tetap berada di garda depan dalam perjuangan bersama rakyatnya.
Sementara dalam Buddhisme, beliau merupakan sufi tanpa tanding yang amat rendah hati. Beliau tidak merasa lebih tinggi dari orang lain biarpun menempati posisi tertinggi sebagai pemimpin agama Buddha di Tibet. Katanya, “Saya selalu menganggap diri saya sebagai seorang biksu Buddha biasa. Rasanya, itulah diri saya yang sebenarnya.” (h. 33)
Tak jauh berbeda dari negeri atap dunia, di Afrika Selatan juga dapat kita jumpai perjuangan yang senada. Kebebasan dan kesetaraan bagi warga kulit berwarna adalah isu paling penting yang digaungkan para pejuangnya. Salah satu pejuang pembebasan yang amat vokal dan berani adalah sosok legendaris Nelson Mandela.
Sejak masih sangat muda, kecerdasan Nelson Mandela sudah terlihat dengan seringnya ia mendapatkan banyak prestasi di sekolahnya. Ia juga merupakan sosok pemberani yang tak segan menyuarakan pendapatnya.
Di perempat awal abad 19, Nelson Mandela remaja telah secara sadar mengawali perjuangan panjangnya. Saat masih 16 tahun, ia berani mendebat kepala suku Meligqili yang menanamkan ide submisif dalam pikiran orang kulit hitam. Pada masa itu, pemikiran bahwa orang kulit putih punya derajat lebih tinggi dari bangsa lain telah mendarah daging bahkan di benak orang kulit hitam sendiri. (h. 77)
Pada masa kuliahnya, Mandela sangat aktif dalam kegiatan di luar kampus terutama yang berhubungan dengan politik dan sosial. Pernah ia dikecam pihak universitas sebab dituduh berpartisipasi dalam demo yang menentang kebijakan kampusnya saat itu, University College of Fort Hare. Orangtua angkatnya pun turut mengancam Mandela. Hal itu membuatnya berpindah ke Johannesburg dan kuliah di University of South Africa hinga meraih gelar BA. (h. 78)
Selama 40 tahun berikutnya, Mandela berjuang tanpa henti demi memperjuangkan kebebasan bagi kaumnya. Jalan yang dilalui pun sangat tidak mudah. Ia bekerja sedemikian keras. Saat masih di Johannesburg, ia pernah membuat firma hukum untuk orang kulit hitam yang tak mampu. Ia juga aktif dalam Kongres Nasional Afrika untuk menggaungkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan.
Pemerintah apartheid yang dipimpin Presiden Botha sangat terusik dengan langkah Mandela, lalu secara paksa menangkapnya. Berbagai jenis penjara pernah Mandela rasakan, bahkan sampai penjara terburuk, dengan jatah air tak lebih dari seember sehari dan ketiadaan tembat buang air. Keluarganya juga dilarang menjenguk. Siksaan tersebut ia alami selama 18 tahun. (h. 85)
Akan tetapi, keadaan tak mengenakkan itu bukan penghalang bagi Mandela untuk berhenti. Dari balik tirai besi, ia masih mampu menggerakkan pengikutnya. Saat dipindahkan ke penjara Pulau Robben, Mandela membagikan pengetahuannya di bidang hukum kepada para tawanan lain. Hal itu menjadikan penjara tersebut terkenal dengan sebutan Universitas Nelson Mandela. (h. 114)
Perjuangannya menemu titik balik saat pemerintahan Botha digantikan de Klerk. Klerk yang berpandangan politis pro kesetaraan menjadi pintu keluar bagi rakyat kulit hitam Afsel dari apartheid yang rasis. Mandela dibebaskan pada 1992 setelah 30 tahun terkurung di penjara. Dua tahun kemudian, namanya tercatat sebagai presiden kulit hitam pertama negara penghasil berlian di benua hitam itu. Tak lupa, Nobel Foundation juga mengganjar kegigihan Mandela dengan Nobel Perdamaian di tahun 1993.
Keberhasilan perjuangan Nelson Mandela menjadi pelajaran berharga bahwa untuk mencapai tujuan besar diperlukan kerja keras tanpa batas, kegigihan dan keberanian yang everlasting. Buku setebal 156 halaman ini mengandung spirit booster dosis tinggi untuk membantu pembaca menemukan sisi bijak dan keberanian masing-masing.