Resensi Novel Ayah dan Sirkus Pohon, Sebuah Potret Diskriminasi Sosial

Hernawan | Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Resensi Novel Ayah dan Sirkus Pohon, Sebuah Potret Diskriminasi Sosial
Novel Ayah dan Sirkus Pohon (Dok. Pribadi/Muhammad Ridwan Tri Wibowo)

Andrea Hirata adalah novelis Indonesia. Ia telah memenangkan banyak penghargaan sastra internasional. Laskar Pelangi edisi Amerika memenangkan New York Book Festival 2013, dan edisi Jermannya memenangkan Buchawards 2013. Cerpen pertamanya, Dry Season, memenangkan seleksi majalah sastra terkemuka Amerika, Washington Square Review, adan cerpen keduanya, We Don't Like Space, terpilih untuk majalah sastra 91st Meridian.

Novel Ayah dan Sirkus Pohon merupakan karyanya yang terkenal. Novel ini mengangkat isu pendidikan dan sosial, menginspirasi pembaca, serta memberikan harapan dan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi masyarakat Indonesia.

Lewat tokoh Sobirin, Andrea Hirata memotret diskriminasi sosial di negeri ini. Sobirin adalah representasi orang-orang berpendidikan rendah yang sulit mendapat pekerjaan tetap. Meskipun bersemangat, mereka dibatasi oleh pendidikan yang terbatas. Dan, tidak adanya ijazah SMA atau sederajat, menjadi hambatan besar untuk mereka mendapatkan pekerjaan.

Sobirin adalah anak keempat dari lima bersaudara. Abangnya yang pertama diterima di Sekolah Teknik PN Timah, dan menjadi karyawan di kantor Eksplorasi PN Timah. Abangnya kedua juga bekerja di PN Timah sebagai juru ukur. Abangnya yang ketiga adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) bekerja di kantor Syahbandar. Dan, adik bungsunya yang bernama Azizah menjadi ibu rumah tangga. 

Hobirin berusia 28 tahun. Ia hanya memiliki ijazah SD dan belum kawin. Kenyataannya menjadi bujang lapuk dan pengangguran, serta masih tinggal di rumah orang tuanya membuat dirinya disebut sebagai beban keluarga. 

Pasalnya, Azizah ingin Hobirin ikut membantu situasi moneter di rumah. Azizah juga tidak mau Hobirin hanya kerja serabutan di pasar. Menurut Azizah, lelaki harus memilki pekerja tetap. Namun, bagi Hobirin mendapatkan pekerjaan tetap tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kerja tetap umumnya bersyarat ijazah minimal SMA atau sederajat. Sedangkan Hobirin hanya mempunyai ijazah SD.

”Tengoklah, Zah, di mana-mana, jika ada tulisan ada lowongan selalu ada balasan pantun tak berima di bawahnya, SMA atau sederajat. Tahukah kau, Zah? Kedua kalimat itu telah melakukan persekongkolan gelap untuk membekuk nasib-nasib orang-orang tak berpendidikan macam aku. (...) Tahukah kau Zah?! Saking sering aku bertemu kalimat itu sampai kerap aku bermimpi dikejar-kejar hantu yang membawa plang SMA atau sederajat!” –Halaman 10

Dari cerita Sobirn, novel ini menyentuh luka-luka sosial yang masih menganga dalam masyarakat, terutama mengenai kesenjangan dalam akses pendidikan dan kesempatan kerja. Andrea Hirata dengan cermat memotret bagaimana kehidupan seseorang dapat terbatas oleh batasan pendidikan formal.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan lapangan kerja di Indonesia masih diskriminatif terhadap orang-orang yang kurang berpendidikan. Ijazah SMA atau sederajat seolah menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal, keahlian praktis dan semangat kerja keras seharusnya juga diakui dan diberi peluang.

Dari sudut pandang ini, Andrea Hirata memberikan suara kepada yang kurang terdengar, mengajak pembaca untuk merenung tentang perlunya perubahan dalam paradigma pendidikan dan peluang kerja agar lebih inklusif bagi semua lapisan masyarakat.

Identitas Buku

Penulis: Andrea Hirata

Penyunting: Dhewiberta, Nurani Nura

Cetekan: Ketiga, Agustus 2021

Halaman: x + 198 halaman

Cover: Soft cover

Penerbit: Bentang Pustaka

ISBN: 978-602-291-661-1

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak