Dunia perfilman Indonesia diramaikan oleh hadirnya serial "Gadis Kretek". Pembahasan mengenai serial ini muncul di berbagai platform media sosial. Ada yang menyoroti kisah cintanya, karakter tokohnya maupun sinematografinya.
Gadis kretek diangkat dari novel karangan Ratih Kumala, dirilis tahun 2012 dengan judul yang sama dengan seriesnya. Dengan latar kehidupan masyarakat Jawa di kota M pada tahun '60an, Dasiyah atau Jeng Yah digambarkan sebagai sosok perempuan mandiri dan memiliki mimpi besar.
Mimpi terbesar Jeng Yah adalah membuat saus kretek terbaik yang ia bisa. Namun sayangnya Jeng Yah terpenjara dalam batasan-batasan gender masa itu. Peran perempuan pada masyarakat Jawa terkungkung pada istilah masak, macak lan manak (memasak, berdandan dan melahirkan). Perempuan diberi ruang gerak sempit sebatas dapur, sumur dan kasur. Pekerjaan penting sebisa mungkin dikerjakan oleh kaum lelaki dan tidak membiarkan kaum perempuan berkreasi menjadi bagian penting.
Peracik Saus kretek
Industri kretek kala itu melibatkan perempuan sebatas pelinting atau penggulung kretek saja. Perempuan diberi batasan dalam menuangkan kreatifitas mereka. Impian besar Jeng Yah adalah menciptakan kretek terbaik melalui tangan lihainya.
Terdapat scene Jeng Yah terlihat sangat ingin memasuki ruang berpintu biru di mana tempat peracikan saus yang terlarang untuknya. Konon, apabila pembuatan saus melibatkan perempuan, kretek yang dihasilkan akan terasa asam. Padahal, secara logika kedua hal tersebut bukankah tidak ada kaitannya?
Pekerjaan peracik saus kretek hanya diperuntukan bagi kaum lelaki, maka ketika Jeng Yah berdiri di depan pintu ruangan peracik saus, sang peracik saus memandangnya rendah dan tergambar emosi di dari tatapannya.
Selain itu keterlibatan Jeng Yah dalam memilih bahan baku kretek diragukan hingga memancing emosi pemasok tembakau. Padahal Jeng Yah paham betul, dengan ketelitian yang dimilikinya bahan baku kretek tersebut berkualitas rendah. Kemampuan dan impian Jeng Yah ditekan pandangan remeh hanya karena statusnya sebagai perempuan.
Untungnya Jeng Yah memiliki ayah yang begitu menyayanginya dan memberikan kepercayaan pada hasil kreasi Jeng Yah. Hingga akhirnya setelah melalui beberapa tantangan lahirlah "kretek gadis" dari tangan terampilnya.
Jodoh
Orangtua Jeng Yah terutama ibunya mengkhawatirkan mengenai jodoh Jeng Yah. Jeng Yah dipandang sudah pantas untuk menikah, tapi tidak terlihat sedang menjalin hubungan dengan siapapun. Pada masa itu sangat umum perempuan menikah di usia muda bahkan sebelum berusia 20 tahun.
Kerisauan orangtua Jeng Yah diwujudkan dalam perjodohan Jeng Yah dengan tentara bernama Seno. Lazim pada masa itu perempuan Jawa menikah karena dijodohkan. Perempuan seakan tidak memiliki pilihan dan hanya menerima sesuatu yang telah diberikan. Setelah menikahpun perempuan tetap dituntut untuk di rumah dan patut kepada suami tanpa protes.
Apakah dosa apabila seorang perempuan mengejar mimpinya dan menunda pernikahan?
Tidak Bisa Memasak
Dalam satu scene Jeng Yah ditampilkan sedang belajar mamasak karena akan menikah. Jeng Yah yang lebih sering ikut ayahnya mengurus industri kretek keluarga memang jarang terjun ke dapur untuk memasak. Perempuan pada masa itu, dan masih berlaku pada masa sekarang, dituntut untuk memiliki kecakapan di dapur.
Sedangkan laki-laki tidak memiliki tekanan untuk memiliki kemampuan memasak. Bukankah laki-laki dan perempuan sama kebutuhannya akan makanan, lalu mengapa hanya perempuan yang dituntut untuk memenuhi kecakapan memasak ?
Bagaimana pendapat pembaca tentang isu kesenjangan gender pada masa Jeng Yah dan masa kini ?