Buku yang berjudul "Laki-Laki Ke-42" merupakan karya kelima dari penulis yang sering disapa dengan sebutan Ibu Cinta, yaitu Atalia Praratya.
Selain melibatkan diri dalam kesibukan mendampingi suaminya, Atalia juga dikenal sebagai seseorang yang memiliki kegemaran dalam menulis.
Novel "Laki-Laki Ke-42" ini merupakan karya remaja yang memancarkan nuansa romansa anak muda pada era 90-an. Dengan genre yang mengusung kisah percintaan, buku ini secara khusus ditujukan bagi para pembaca berusia 17 tahun ke atas.
Meskipun memiliki ketebalan buku sebanyak 128 halaman dan didukung oleh alur yang ringan, buku ini sangat layak untuk masuk ke dalam daftar bacaan Anda.
Buku ini mengisahkan perjalanan cinta Chiara, sebuah kisah yang menggambarkan kompleksitas kehidupan. Hidup memang sering kali penuh dengan ketidakpastian, terutama ketika membahas tentang pasangan hidup.
Menemukan jodoh sering kali seperti memecahkan teka-teki yang sulit dipecahkan, namun Tuhan selalu memiliki cara yang unik untuk menyatukan orang-orang. Inilah yang dialami oleh Chiara.
Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, para pembaca seakan-akan diajak untuk merasakan secara langsung pengalaman yang sedang dihadapi oleh Chiara.
Chiara lahir sebagai satu-satunya perempuan dalam keluarganya dengan panggilan akrabnya "Cia". Sejak kecil, Cia bersama kedua abangnya tumbuh dalam lingkungan yang mendorong kedisiplinan yang diarahkan oleh orang tua mereka.
Dalam keluarga kelas menengah dengan seorang ibu yang sangat perfeksionis, Cia diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap setiap aspek dalam kehidupan sehari-harinya.
Pada saat Cia menginjak kelas 2 SMP, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Bandung yang sebelumnya tinggal sejenak di Jakarta.
Cerita cinta Cia dimulai sejak masa SMA, perbedaan antara zaman dulu dan sekarang begitu mencolok. Pada masa lalu, remaja yang berpacaran umumnya hanya menemani satu sama lain saat menonton film atau pensi bersama.
Dalam bukunya, Atalia turut membahas tentang pengalaman masa remaja pada era tahun 90-an. Pembaca dibawa untuk merenungi dan bernostalgia akan momen-momen tersebut.
Seperti kenangan lucu meletakkan rautan pensil berlapis kaca yang diikatkan ke tali sepatu. Keisengan semacam ini menjadi pengalaman yang hanya dipahami oleh remaja pada era 90-an.
Pada masa itu, telepon genggam belum ada dan telepon rumah yang masih menjadi benda yang sangat diidolakan. Namun, pada zamannya telah muncul alat komunikasi yang unik yaitu pager.
Sebuah perangkat kecil berbentuk persegi yang digunakan untuk mengirim pesan pendek. Jika seseorang ingin menyampaikan pesan, langkah pertama adalah menelepon operator lalu menyebutkan ID penerima pesan.
Cia sering kali mendapatkan pesan dari seseorang untuk menyatakan perasaan. Uniknya, Cia selalu mencatat siapa saja yang menyatakan cinta kepadanya.
Setelah beberapa pengalaman berpacaran, Cia kemudian bertemu dengan Angga yaitu seorang dosen arsitektur di ITB. Angga terlihat sangat menyukai Cia yang pada saat itu sudah berubahmenjadi gadis yang ramah dan tidak lagi pendiam.
Bagaimanakah perjuangan Angga untuk meraih hati Cia?
Meskipun Angga menyadari bahwa dia adalah seseorang yang ke-42 menyatakan cinta kepada Cia, hal tersebut tidak mengurangi semangat Angga untuk mendekati Cia.
Buku ini berhasil mengundang senyuman para pembaca saat menikmati kisah percintaan masa remaja pada era tahun 90-an. Meskipun hanya mengisahkan perjalanan Cia dalam mencari pasangan hidup, namun setiap kata dan kalimat dalam buku ini membuat keseruan yang menghibur para pembaca.