Banyak sekali sastra klasik anak yang memberikan nilai-nilai moral kepada para pembaca ciliknya. Salah satunya adalah buku berjudul Peladang yang Loba buah karya dari Djauhari Balik. Buku ini termasuk dalam seri Cerita dari Lima Benua, yang diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1976.
Cerita diawali dari kehidupan seorang peladang bernama Pak Amri. Beliau tinggal seorang diri tanpa anak istri dan bekerja dengan menjual hasil ladangnya berupa sayur-sayuran dan palawija ke pasar.
Suatu hari Pak Amri menolong seekor tikus yang hampir menjadi mangsa elang. Pak Amri mengobati luka sang tikus yang sempat terkena cengkeraman cakar elang tersebut hingga sembuh.
Tikus yang lalu diberi nama Tiki oleh Pak Amri, lalu ikut tinggal di pondoknya. Sebagai balas budi atas pertolongan si bapak peladang, setiap malam Tiki membawakan Pak Amri emas sebesar bulir padi, yang didapatnya dari dalam gua yang ditinggali kawanan rampok.
Setelah emas yang dikumpulkan Pak Amri bertambah banyak, beliau menjualnya ke tukang emas. Pak Amri menjadi kaya raya, tapi ia selalu merasa emas yang masih terus dibawakan Tiki setiap malam belumlah cukup. Ia ingin lebih kaya lagi.
Pak Amri mulai berlaku licik dengan meminta para pelayannya menyakiti tikus-tikus untuk kemudian diobatinya. Tujuan lelaki separuh baya itu agar tikus-tikus tersebut merasa berhutang budi dan turut mencarikan emas untuk dirinya, sama seperti Tiki.
Apakah tipu daya Pak Amri tersebut berhasil? Bagaimana nasibnya ketika gembong rampok, Kunang Panco, mengincar harta kekayaannya?
“Akan kucari sepuluh ekor tikus seperti Tiki. Akan kusakiti dan kulukai tikus-tikus itu. Lalu kuobati seperti Tiki dulu. Bila mereka sembuh nanti, pasti setiap ekor tikus akan membawakan sebutir emas bagiku setiap hari.” Pak Amri berpikir mencari akal. (Hal. 19)
Membaca kisah sederhana yang hanya setebal 36 halaman ini, saya sebagai pembaca merasakan bahwa cerita ini masih sangat relevan dengan apa yang terjadi di masa sekarang, meskipun buku Peladang yang Loba ini ditulis puluhan tahun lalu.
Melalui narasi yang sederhana dan tak bertele-tele, penulis menyampaikan pesan moral kepada para pembacanya melalui dua tokoh utama dalam cerita, yaitu Pak Amri dan Tiki.
Pak Amri yang semula memiliki sifat tulus dan sepenuh hati menolong Tiki dari ancaman elang yang ingin memangsanya, menjadi berubah. Ia ‘membelokkan’ niat tulusnya dengan menciptakan rekayasa agar para tikus yang disakiti para pelayan (atas suruhannya), merasa berhutang budi pada kebaikan yang dicitrakannya.
Pak Amri juga berubah dari seorang peladang sederhana menjadi pribadi yang tamak dan tak mudah puas, yang menghalalkan segala cara untuk mengejar tujuannya menjadi orang yang lebih kaya dari semula.
Berkebalikan dari sifat buruk Pak Amri, nilai-nilai keteladanan justru dimiliki Tiki. Melalui tokoh tikus kecil ini pembaca memperoleh pelajaran, bahwa seekor tikus pun tahu cara membalas kebaikan orang yang telah menyelamatkannya.
Namun melalui buku ini, pembaca juga bisa menjadikannya cerminan, bahwa kebaikan bisa dimanipulasi atau direkayasa dan balas budi bisa menjadi hal yang dimanfaatkan untuk kepentingan lain pihak. Jadi, perlu kiranya kita menjaga hati nurani agar tidak mudah dipermainkan oleh orang lain.
Buku Peladang yang Loba diakhiri dengan pelajaran atau ganjaran yang harus diterima oleh Pak Amri untuk segala ketamakannya. Sebuah akhir yang bagi saya sangat tepat agar para pembaca bisa mengambil pelajaran dari sifat loba yang dimiliki sang tokoh utama.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS