Setelah menonton film “When Nietzsche Wept,” saya dipertemukan oleh seorang perempuan cerdas yang bernama Lou Andreas-Salomé. Saya tidak begitu tahu banyak awalnya tentang perempuan kelahiran Rusia itu. Sebab, saya emang banyak berkutat di Nietzsche saja yang saya kira orang yang membenci jatuh cinta. Ternyata, Nietzsche bukan orang yang benci-benci banget dengan cinta. Kebenciannya akan cinta itu justru karena patah hatinya pada Salome.
Walhasil, saya sangat penasaran dengan si perempuan yang berkelut pada psikoanalisis ini. Setelah saya berselanjar di Google sana sini, sampailah saya pada sebuah film yang berjudul “Lou Andreas-Salomé, The Audacity to be Free.” Sebuah film perempuan tua yang mengenang masa lalunya ketika masih masa muda.
Jadi, film ini lebih mirip seperti kilas balik, layaknya film Titanic yang mengulas balik kisah Rose ketika tenggelamnya kapal. Begitupun dengan Salome (yang diperankan oleh Nicole Heesters) yang saat itu sudah berusia 72 tahun pada tahun 1933, menceritakan kisahnya kepada seorang penulis biografi Ernst Pfeiffer (yang diperankan oleh Matthias Lier).
Film yang tayang perdana pada Juni 2016 ini ini sebenarnya hendak menarasikan seorang perempuan yang merdeka. Selama ini terdapat sebuah konstruksi yang sangat patriarkis bahwa perempuan pendukung dibalih laki-laki hebat. Sedangkan dalam film ini, Salome bukanlah perempuan yang elemen yang membuat Nietzsche atau Freud menjadi sosok yang cerdas. Melainkan Salome itu sendirilah sosok perempuan cerdas itu.
Ketika diusia anak-anak, Salome (yang diperankan oleh Helena Pieske) lebih banyak dimanjakan oleh ayahnya yang saat itu sudah berumur lanjut. Sebagai seorang remaja (yang saat itu diperankan oleh Liv Lisa Fries), Salome mengalami pengkhiantan oleh pengajar intelektualnya sendiri. Kemudian ketika di usia dewasa, Salome (yang diperankan oleh Katharina Lorenz) menjadi pribadi yang dikagumi banyak orang, bahkan tidak hanya Nietzsce dan Freud, melainkan juga dikagumi oleh Paul Rée serta penyair Rainer Maria Rilke.
Menjelang akhir film, terlihat bagaimana keakraban antara Salome, Freud dan Nietzsce. Bahkan cover film ini adalah reka adegan yang mengadopsi kejadian asli sesi foto bersama antara Nietzshe, Freud dan Salome itu sendiri. Adapun Salome yang menaiki sebuah gerobak itu adalah ide gila Nietzshe yang sempat ditentang Freud, namun akhirnya sepakat juga dengan adegan itu. Sesi foto ini ditujukan untuk mengenang kebersamaan antara Salome, Freud dan Nietzsche. Bahkan Salome diusianya yang lanjut masih menyimpan baik foto itu.
Meskipun memperlihatkan bagaimana kemandirian Salome, kehendak merdeka oleh Salome, namun sayangnya film ini tidak membahas jauh pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh perempuan pertama psikoanalisis di Eropa pada abad 19 itu. Sehingga film yang disutradarai Cordula Kablitz-Post ini lebih pada keseharian, percintaan, lika-liku hidup, ketekunan belajar dari Salome.