Ulasan Novel 'Kembali Bebas', Karena Menikah Butuh Komunikasi Dua Arah

Hikmawan Firdaus | Akramunnisa Amir
Ulasan Novel 'Kembali Bebas', Karena Menikah Butuh Komunikasi Dua Arah
sampul novel Kembali Bebas (gramedia digital)

Saya pernah heran ketika menyaksikan sepasang suami istri yang telah menjalin hubungan berpuluh-tahun namun memutuskan untuk bercerai. Kira-kira, jenis masalah apa yang mereka hadapi hingga mereka rela mengorbankan kebersamaan yang sudah sekian lama tersebut?

Sebagaimana yang dialami oleh Tata dan Ibra dalam novel Kembali Bebas ini. Awalnya, saya mengira mereka adalah pasangan muda yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahan di awal-awal hubungan.

Ternyata saya salah. Mereka sudah menjalani pernikahan selama 28 tahun. Tepat saat anak mereka telah melangsungkan pernikahannya, Tata, istri dari Ibra meminta cerai

Sasa Ahadiah, yang merupakan penulis dari novel ini sengaja mengangkat tema marriage life yang seolah bisa membuka mata pembaca bahwa pernikahan tak sesederhana modal cinta dan romantisme semata. Awal-awal menikah, mungkin seseorang bisa bertahan menghadapi berbagai problema karena besarnya rasa sayang pada pasangannya.  

Namun lambat laun, segala pemakluman, bentuk toleransi, hingga permintaan maaf seolah menjadi tidak ada artinya ketika masalah-masalah yang ada sudah menjadi bom waktu dalam pernikahan. Ketidakmampuan menjalin komunikasi yang sehat akan semakin memperparah konflik yang ada.  

Di awal, saya sempat greget dengan permintaan cerai yang diajukan secara tiba-tiba oleh Tata. Bagaimana tidak, mereka berdua bisa dibilang sudah lanjut usia. Sama-sama berusia lebih dari 50 tahun. Tapi kenapa masih bersikap selayaknya ABG labil yang dengan mudahnya minta untuk berpisah? 

Barulah alasan-alasan perceraian itu terkuak seiring dengan berjalannya cerita. Ibra yang sedari muda lebih suka main game dibandingkan deep talk dengan Tata, Tata yang merasa seolah sendirian menjalani statusnya sebagai ibu, hingga pertengkaran-pertengkaran kecil karena kesalahpahaman yang ada. Dengan bercerai, menurut Tata ia bisa kembali bebas dan menjalani hidup sebagaimana yang ia inginkan. 

Secara umum, premis utama yang diangkat dalam novel ini mengenai pentingnya 'mendengarkan' isi hati pasangan mampu diolah dengan baik. Pembaca juga bisa mendapat gambaran bagaimana realita pernikahan yang sebenarnya. 

Namun sayangnya, saya merasa dialog-dialog yang dikemukakan oleh tokoh-tokohnya, baik antara Ibra dan Tata, maupun Ibra dan teman-temannya terlihat masih kurang alami. Saya merasa sulit membayangkan bahwa mereka adalah generasi boomers yang lahir sekitar tahun 70-an karena kelewat gaul dan update.

Meskipun penulis memang sengaja menciptakan image itu. Namun saya pikir, jika penulis menciptakan dialog-dialog yang lebih menggambarkan sosok 'nenek dan kakek' yang lebih alami, mungkin hal tersebut akan lebih memudahkan pembaca untuk membayangkan sosok sepuh seperti Tata dan Ibra dalam novel ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak