Review Film 'Disco Inferno', Horor Estetik dengan Akting Robotik

Hayuning Ratri Hapsari | Caca Kartiwa
Review Film 'Disco Inferno', Horor Estetik dengan Akting Robotik
Adegan film Disco Inferno (netflix.com)

"Disco Inferno" merupakan sebuah film horor pendek yang tayang di layanan nonton berbayar, Netflix. 

Sebagai catatan film berdurasi 19 menit garapan Matthew Castellanos yang dibintangi Soni Bringas, Stephen Ruffin, dan Hellene Udy ini berbeda dari film pendek lain berjudul sama, "Disco Inferno" karya Alice Waddington yang tayang pada tahun 2015.

Adegan "Disco Inferno" dimulai pada tahun 1950-an saat seorang biarawati bernama Sister Lynn (Helene Udy) yang berdoa memohon pengampunan di ruang pengakuan dosa.

Ia bercerita bahwa dirinya telah bertindak 'terlalu jauh' karena sudah merenggut nyawa seorang ibu dan membawa bayi perempuannya, sebelum akhirnya ia mengakhiri hidup.

Cerita kemudian berpindah ke tahun 1973 yang memperlihatkan pasangan muda, Mel (Soni Bringas) dan Brandon (Stephen Ruffin) yang sedang berlatih disko untuk sebuah kompetisi yang diadakan di sebuah bangunan lama bernama 'Inferno'.

Sementara Brandon fokus pada kompetisi disko, Mel, di sisi lain, punya rahasia tersendiri yang susah ia ungkapkan. Hal tersebut diperparah oleh roh Lynn yang tetap bersemayam di bangunan yang ternyata dulunya merupakan tempat ibadah di mana ia mengakhiri hidupnya sendiri.

Apa yang terjadi pada Mel selanjutnya? Apakah ia punya kaitan dengan Lynn?

Hal menarik dari film ini adalah nuansa disko yang mencolok dan penuh warna, kostum para talent yang ada juga terasa pas, begitu pula joget diskonya.

Beberapa pengeditan di film ini juga menarik, seperti transisi antara klub malam dengan alam 'roh' tempat Lynn bersemayam.

Sayang hal tersebut tidak diikuti oleh departemen akting yang tampil robotik dan terkesan ala kadarnya.

Para pemeran kerap menyampaikan dialog dengan antusiasme rendah dan terkesan seperti membaca dalam setiap perbincangan.

Hal serupa terjadi pada ekspresi yang satu dimensi tanpa ada keinginan menggali lebih untuk memaksimalkan karakter dalam durasi film yang singkat.

Meski hal ini mungkin jadi standar untuk sebuah film pendek, namun karena ditayangkan di platform streaming besar membuat ekspektasi akan ada sesuatu yang 'wah' menjadi tinggi.

Skor untuk "Disco Inferno" adalah 30/100. Penampilan para pemain yang tidak meyakinkan, jump-scare yang tak bikin kaget, terutama untuk penikmat horor, berbanding terbalik dengan pergerakan kamera, musik, dan tata cahaya yang terasa lebih estetik.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak