Ulasan Film 'The Zone of Interest', Potret Ganda sang Penjahat Perang

Hayuning Ratri Hapsari | Caca Kartiwa
Ulasan Film 'The Zone of Interest', Potret Ganda sang Penjahat Perang
Adegan film The Zone of Interest (IMDb)

Film 'The Zone of Interest' garapan sutradara Jonathan Glazer merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Martin Amis dan jadi perbincangan karena menjadi pengalaman sinematik yang bagi sebagian orang menimbulkan rasa tak nyaman. 

Film ini mengambil latar di sebuah kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, namun menawarkan sudut pandang yang berbeda dan mengejutkan.

Alih-alih berfokus pada penderitaan korban, Glazer justru memilih untuk mengarahkan sorotan pada kehidupan sehari-hari para pejabat Nazi yang mengelola kamp tersebut.

Melalui pendekatan ini, 'The Zone of Interest' berusaha mengungkap sisi kemanusiaan yang tersembunyi di balik kegelapan sejarah Perang Dunia II.

Film ini mengajak penonton untuk merefleksikan bagaimana manusia bisa melakukan hal-hal yang begitu kejam, namun di sisi lain tetap memiliki sisi manusiawi yang mungkin tak terduga.

Salah satu inti dari film ini adalah sosok Rudolph Höss, komandan kamp konsentrasi Auschwitz. Glazer menggambarkan Höss sebagai seorang pria yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga dan kehidupan sehari-hari yang damai.

Ia digambarkan sebagai sosok suami dan ayah yang penuh kasih, jauh dari stereotipe kejam yang biasanya dilekatkan pada para pejabat Nazi.

Gambaran kontras ini sengaja ditampilkan Glazer untuk membuat penonton merasa tidak nyaman.

Ketika kita menyaksikan Höss bercengkerama dengan istrinya atau bermain dengan anak-anaknya, sulit untuk memahami bahwa ia adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian jutaan manusia di Auschwitz.

Kenyataan ini memaksa kita untuk bertanya-tanya: bagaimana bisa orang seperti Höss tetap memiliki sisi kemanusiaan dalam dirinya?

Fenomena ini seolah mencerminkan kompleksitas moral manusia. Film ini seakan ingin menunjukkan bahwa setiap individu, termasuk mereka yang telah melakukan kejahatan paling buruk sekalipun, pada dasarnya tetap memiliki sisi manusiawi yang tak dapat dihapus. Persoalannya adalah bagaimana mereka memilih untuk memprioritaskan atau menyembunyikan sisi tersebut.

Glazer tidak berusaha untuk membela atau mengampuni tindakan kejam para pejabat Nazi. Ia justru ingin mengajak penonton untuk memahami bahwa kemanusiaan bukanlah sesuatu yang hitam-putih.

Manusia adalah makhluk yang rumit, yang bisa melakukan hal-hal sangat buruk di satu sisi, namun juga memiliki kelembutan di sisi lain.

Salah satu adegan yang menggambarkan hal ini adalah ketika Höss menyaksikan asap pembakaran korban di kamp. Ia tampak terganggu dan tidak mampu memandang lebih lama, seakan masih tersisa secercah nurani dalam dirinya yang tidak sanggup menerima realitas mengerikan tersebut.

Namun, detik berikutnya, ia kembali bersikap profesional dan melanjutkan tugasnya dengan dingin.

Melalui cara pandang yang tak terduga ini, 'The Zone of Interest' mendorong penonton untuk melihat Perang Dunia II dari kacamata yang berbeda.

Film ini tidak hanya sekadar menceritakan kisah penderitaan para korban, melainkan juga berusaha mengupas kompleksitas moral di balik tindakan para pelaku kejahatan perang.

Glazer juga secara cerdik membangun suasana yang mencekam namun terasa sangat natural. Penggunaan teknik kamera yang statis, pencahayaan realistis, serta akting para pemain yang cenderung datar, turut menguatkan kesan absurd sekaligus mencekam dalam film ini. Penonton seakan diajak untuk terlibat langsung dalam keseharian pengelola kamp Auschwitz.

Salah satu peran kunci dalam film ini adalah sosok Hedwig Höss, istri Rudolph Höss. Diperankan dengan apik oleh Sandra Hüller, Hedwig digambarkan sebagai sosok ibu rumah tangga yang taat, namun juga memiliki kesadaran akan realitas mengerikan yang terjadi di sekitarnya.

Ia seakan mewakili dilema moral yang dihadapi pada masa itu - antara menerima kenyataan atau terus hidup dalam kebohongan.

Melalui 'The Zone of Interest', Glazer berusaha membuka mata penonton bahwa kemanusiaan bukanlah sesuatu yang sederhana.

Film ini mengajak kita untuk menyadari bahwa bahkan di tengah-tengah kejahatan paling buruk sekalipun, masih tersisa sisi manusiawi yang patut untuk dipahami.

Tentu saja, upaya untuk memahami pelaku kejahatan perang bukan berarti menghapus tanggung jawab mereka atau mengabaikan penderitaan para korban.

'The Zone of Interest' justru ingin mengingatkan kita bahwa mempelajari kompleksitas moral manusia adalah penting, agar kita dapat mencegah terulangnya tragedi-tragedi serupa di masa depan. Skor 94/100.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak