Film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja menyadarkan kita tentang pentingnya mempunyai etika komunikasi saat berselancar di media sosial. Film ini mengisahkan tentang seorang guru bimbingan konseling (BK) bernama Bu Prani (Sha Ine Febriyanti) yang viral disebabkan potongan video yang mempertontonkan ia terlibat cekcok saat mengantri kue putu di pasar.
Bu Prani sebenarnya menegur seorang bapak karena menyerobot antriannya, tetapi perdebatan yang tidak usai dengan bapak tersebut menyebabkan Bu Prani pergi sembari mengucapkan kalimat “ah, suwi!” (ah, lama!) dengan nada tinggi. Sialnya, rekaman yang tersebar viral sangat berbeda dengan realitas yang ada, seakan-akan Bu Prani membentak pedagang putu tersebut dengan kalimat “asui!” (anjing kamu!).
Hal ini membuat Bu Prani dikenal sebagai “ibu kasar pengumpat”, lalu Bu Prani mengalami cancel culture pada media sosial mulai dari hate comment, parodi sindiran, meme, remix jedag jedug hingga netizen menelisik lebih jauh tentang identitas pribadi Bu Prani dan latar belakangnya. Ini berdampak ke kehidupan ia sebagai guru BK, begitu banyak konsekuensi yang didera akibat video viral tersebut.
Film ini berhasil menciptakan pesan yang kuat dan mendalam tentang perundungan siber atau cyber bullying akibat dari disinformasi dan hoax serta rendahnya etika komunikasi pada media sosial yang sering terjadi akhir-akhir ini. Menurut Junaedi (2019) perundungan siber adalah perundungan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu kepada individu atau kelompok individu lain dengan memanfaatkan media internet untuk melakukan perundungan.
Hal ini berarti bahwa perundungan terjadi di internet, meskipun demikian perundungan siber bisa jadi tidak berhenti di internet, namun bisa berpindah ke dunia nyata, dan itulah yang terjadi pada Bu Prani dalam film Budi Pekerti.
Perundungan Siber yang Terjadi dalam Film Budi Pekerti
Ada banyak bentuk perundungan siber yang terjadi dalam film Budi Pekerti. Pertama adalah pengucilan (exclusion) yang berarti korban perundungan dikucilkan dari pergaulan daring, kelompok maupun grup di media sosial (Junaedi, 2019), momen di mana setelah video Bu Prani viral ia dikucilkan oleh lingkungan sekitarnya, Bu Prani dan keluarganya menjadi sasaran hujatan pengguna media sosial karena misinformasi yang menjerat mereka yang menilai ia tidak pantas menjadi guru BK dan mengalami cancel culture pada media sosial.
Kedua, pelecehan (harassment) melalui internet, menurut Junaedi (2019) bentuk perundungan siber ini adalah dengan pengiriman pesan yang berisi pelecehan kepada korban, baik individu maupun kelompok. Disinformasi video viral yang menyebabkan hoax tersebut mengakibatkan Bu Prani dan keluarga terkhususnya anaknya Muklas (Angga Yunanda) yang merupakan seorang konten kreator edukasi mendapatkan kiriman pesan, hate comment, serta ancaman yang ditujukan kepada ibunya.
Ketiga, outing yaitu tindakan mempermalukan korban perundungan siber secara aktif di muka umum, seperti di grup chat, forum, di media sosial, maupun dikirimkan kepada korban langsung, penyuntingan foto orang lain tanpa seizin pemiliknya, yang kemudian dibuat meme di media sosial bisa dikategorikan sebagai outing (Junaedi, 2019). Tindakan outing pada kalimat “ah, suwi” yang disinformasi menjadi “asui” pada video yang dibuat menjadi meme hingga remix lagu ini benar-benar mempermalukan Bu Prani beserta keluarga di muka umum.
Keempat, penguntitan siber (cyber stalking), penguntit dalam perundungan siber perlu diwaspadai dan sangat berbahaya, karena mereka mengintip dan mengikuti seluruh aktivitas daring korbannya, di surat elektronik maupun media sosial (Junaedi, 2019).
Kelima, dissing merupakan pengiriman informasi yang buruk sekali tentang korban untuk merusak reputasi dan persahabatan. Termasuk pengiriman foto hasil penyuntingan, screenshot, atau video secara daring. Aktivitas dissing bisa disebut sebagai fitnah terjadi di dunia maya yang merupakan perbuatan yang tidak bermoral (Junaedi, 2019).
Aktivitas dissing ini merupakan akar permasalahan dari viralnya video Bu Prani, yang diperbincangkan kalimat “asui” dipotong lalu ditambahkan framing yang merusak reputasi Bu Prani sebagai guru BK dan gagal menjadi wakil kepala sekolah serta tidak berdayanya Bu Prani saat melakukan klarifikasi terhadap video dan kalimat tersebut karena aktivitas dissing yang masif sekali dilakukan kepadanya.
Keenam, trickery terjadi ketika pelaku trickery memanfaatkan kepercayaan korban sampai korban menceritakan hal-hal rahasia lalu mengunggah ke dunia maya. Modusnya adalah dengan pelaku akan berteman dengan korban, merebut kepercayaannya, sebelum mengirimkan informasi rahasia itu ke publik. Dengan demikian, trickery adalah perbuatan penyebaran informasi yang sifatnya pribadi dari korban oleh pelaku yang merugikan korban (Junaedi, 2019).
Aktivitas trickery yang dialami Bu Prani ketika netizen sudah melakukan penguntitan siber hingga terjadinya sebuah blunder klarifikasi yang menyebabkan latar belakang Bu Prani sebagai guru BK dan anaknya Mukhlas sebagai konten kreator terbongkar, terdapat oknum sebuah perusahaan yang dekat dengan anak Bu Prani bernama Tita (Prilly Latuconsina) yang memanfaatkan situasi ini dengan melakukan aktivitas trickery menggerakan orang-orangnya untuk menyebarkan informasi pribadi Bu Prani dan keluarga lebih dari pekerjaannya tetapi sampai alamat rumah pribadi Bu Prani.
Ketujuh, trolling yang berarti mengunggah konten yang menghasut tentang korban, dan sering kali tidak relevan dengan topik yang dibicarakan di komunitas daring seperti forum, chatting, blog, atau juga media sosial. Tujuan trolling ini adalah memprovokasi dan memancing emosi para pengguna internet lainnya terhadap korban (Junaedi, 2019). Aktivitas trolling yang dialami Bu Prani merupakan hal yang membuat video viral itu semakin besar hingga masuk trending di semua platform media sosial dengan berbagai cara trolling mulai dari reaction video, sticth, hingga joget lagu remix kalimat “ah, suwi”.
Terdapat tujuh tindakan perundungan siber atau cyber bullying dalam film Budi Pekerti ini merupakan gambaran bahwa dalam suatu permasalahan di media sosial sangat berhubungan dengan etika komunikasi yang kita terapkan di media sosial, jika terdapat tindakan tidak etis yang menyebabkan perundungan siber ternyata banyak sekali turunan permasalahan yang terjadi.
Tindakan perundungan siber ini secara tujuan maupun proses, melukai orang lain sehingga bisa disebut sebagai tindakan yang tidak bermoral. Peran media sosial membuat suatu konten viral sangatlah besar menjadikan persoalan etika semakin mendapatkan signifikansinya. Dalam hal etika media sosial, prinsip kehati-hatian dan pertimbangan yang matang menjadi pilar utama (Junaedi, 2019).
Etika Komunikasi Pada Media Sosial
Berikut ini beberapa langkah konkrit yang dapat diterapkan dalam etika komunikasi pada media sosial menurut Ginting et al. (2021) dalam buku “Etika Komunikasi dalam Media Sosial : Saring Sebelum Sharing”, Beberapa etika komunikasi dalam bermedia sosial menurut Plt Direktur Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Slamet Santoso antara lain pertama, Kenali aturannya, pengguna disarankan untuk memahami undang-undang yang berlaku sebelum menggunakan media sosial, ini termasuk pasal 27 hingga 30 dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang etika bermedia sosial.
Kedua, Pahami batas usia pengguna media sosial, beberapa platform media sosial telah menetapkan batasan minimal usia pengguna seperti Facebook dan Instagram, menetapkan usia minimal 13 tahun, sementara X atau Twitter menetapkan usia minimal 15 tahun.
Ketiga, Perhatikan unggahan, diharapkan pengguna media sosial juga pandai memilih apa yang pribadi untuk diunggah dan apa yang tidak pribadi tidak boleh diunggah. Pelaku kejahatan bahkan dapat menggunakan media sosial sebagai celah untuk melakukan tindak kejahatan dengan mengetahui kebiasaan dan aktivitas sehari-hari mereka.
Keempat, Saring sebelum sharing, Ketika mendapat informasi di platform berbagi pesan, masyarakat diharap dapat menanyakan kembali kebenaran informasi tersebut, tidak serta merta meneruskannya kepada orang lain. “Mari berbagai informasi supaya kita cerdas, produktif dalam berinternet” tutur Slamet (Meodia, 2018).
Harapannya setelah menonton film Budi Pekerti dan mengerti apa saja pelanggaran etika bermedia sosial yang terjadi hingga mengetahui bagaimana langkah konkrit agar menjadi netizen yang mempunyai etika komunikasi yang baik dalam berselancar di media sosial. Sebagai netizen kita dapat memulainya dari diri sendiri dan memberikan edukasi bagi sekitar kita agar dapat mewujudkan masyarakat digital yang beretika.