Haus dan lapar pertanda rakyat menjerit kala harus terlalu lama merasakan derita pandemi. Satu tahun sudah, rakyat dipaksa menunggu dan menelan pil pahit, kala penguasa mengulur waktu pembatasan, yang katanya bisa mengatasi virus kian menggila.
Mulai dari tekanan perekonomian, hingga pendidikan hampir tiga tahun tak bisa efektif mencerdaskan anak bangsa menjadi dampaknya. Beberapa ibu dan bapak takut, anaknya mengalami shock kala kikuk melihat realitas, karena konsumsi buku lebih kecil dibandingkan memaku penglihatannya untuk bermain permainan maya.
Di samping itu, penguasa dengan kepercayaan total pada perekonomian terus ngebut agar kondisi ekonomi di negerinya tak dipecundangi oleh negara-negara lain, yang juga tengah bergulat agar tak bangkrut. Pendidikan berada pada segmen sekunder. Sekolah rela ditutup, dan mall besar harus dibuka, karena lebih menguntungkan secara akal ekonomi.
Di tahun sebelumnya, belum ada namanya pembatasan dengan varian level seperti hari ini. Rakyat bisa beraktivitas dengan syarat menjaga protokol kesehatan. Namun, semua itu berubah dengan meningkatnya korban virus yang membuat penguasa terpukul, hingga membuat kebijakan yang terkesan trial and error, seperti sedang melakukan percobaan biologis di ruang laboratorium.
Rasa iri dan putus asa ketika rakyatnya melihat bagaimana negara lain telah bebas dari virus yang mematikan, katanya. Pesta musik hingga pengadaan pesta olahraga, mereka bisa berkumpul dan memeluk satu sama lain dengan bebas tanpa harus takut terkena denda yang membuat batin menyiksa. Itulah yang terjadi di sebagian besar Eropa. Lalu, bagaimana dengan kita?
Pengibaran bendera putih di sepanjang jalan malioboro dan juga negara tetangga, sebagai pertanda (kalah perang) dengan pandemi yang tak tampak wujudnya. Beban pajak untuk negara dan beban menghidupi karyawan membuat mereka menangis dan merintih. Penguasa, berusaha meredam penderitaan dengan membagikan bantuan. Tapi, itu semua berujung penggelapan dan tindak korupsi yang semakin membuat rakyat skeptis pada penguasa.
Sekitar Juli 2021, aroma busuk korupsi tercium dengan pelaku yaitu oknum wakil rakyat. Sebenarnya, rakyat ingin meludah kala namanya wakil rakyat. Pasalnya, atas nama bangsa dan negara hanya sebatas slogan, kebanyakan untuk perut mereka sendiri. Begitu penyampaian bakul jamu yang iseng saya tanyai apa itu wakil rakyat.
Ibarat bermuka tembok, di tengah pendemi dan risiko kemiskinan menjalar, para petinggi partai malah sibuk memasang baliho-baliho di persimpangan jalan pelosok negeri. Baliho itu bertulisakan dengan harap bisa sukses pesta politik 2024. Beberapa yang membela dengan mengatakan, "kebebasan demokrasi", bung, Cukup! Kebebasan hanya milik elit, tidak milik rakyat. Di mana hati nuranimu, di tengah rakyat yang tercekik kondisi hari ini, dan membayar uang lebih untuk baliho?
Beberapa masyarakat bereaksi atas tingkah laku oknum para petinggi partai. Manifestasi partai untuk rakyat kabur dan tak bermakna lagi. Masyarakat sudah kecut atas keadilan dan janji manis yang sering ia tawarkan. Apa boleh buat, memasang baliho lebih utama dibandingkan dengan membantu masyarakat yang sedang kelaparan hari ini.
Lain sisi, kasus korupsi dan hancurnya moralitas pemimpin negeri diambang pilu. Korupsi juga menjangkit di sektor terkecil yaitu desa. Sekitar 450 juta, ia merampok hak rakyat dan menariknya dibui seumur hidup. Kabar baiknya, sebut saja si “J”, ia di dakwa dengan lama kurungan terbilang tak lama. Parahnya, ia mengajukan pledoi untuk bebas, dengan alasan keluarganya hancur seperti kiamat. Menggelengkan kepala dan berasa ingin marah, tetapi pasti tak berguna rasa marah yang akan dilampiaskan.
Bergelut dan menghidupi diri sendiri lah yang hari ini masih relevan untuk dilakukakan. Urusan negara dan rakyat seperti hubungan sekuler yang tidak berkesatuan. Segerombol aparatus negara mempunyai urusannya sendiri, sedangkan rakyat hanya jadi objek yang sering dimanfaatkan.
Lalu, apa sebuah keadilan? bagaimana kesejahteraan sosial bisa didapatkan? Mungkin saja semua itu hanyalah mimpi, kita semua bergerak dan bertanggung jawab atas diri kiti sendiri. Coretan grafiti di daerah Bangli, cukup untuk menohok kondisi hari ini. "Dipaksa sehat di negeri yang sakit" cukup memukul, hingga akhirnya dihapus dengan tumpukan cat bernilai estetis sampah dari para pejuang anti-kritik.
Tak bisa dipungkiri, rakyat semakin geram, akan tetapi takut mau meluapkan ke mana. Pikirnya, ketika meluapkan dengan jujur, takut dipukul sebatang beton dan hidup di ruangan sempit nan pesing. Satu langkah kritik kecil yang dilakukan hanya meramaikan tagar dengan ujaran super menusuk bagi perilaku tindak korupsi.
Yah, nalar berontak rakyat sudah mulai terbentuk kembali pasca geger geden tahun 98 usai. Namun, hati nurani tak bisa dibohongi. Ada saatnya melawan dan ada saatnya untuk menekan tuas rem guna memperkuat gerakan selanjutnya. Aku pun tak tahu, kapan akan terjadi lagi. Semoga saja, bisa mendapat ilham agar menemui solusi yang bijaksana.
Pemberontakan ala Albert Camus, masih relevan untuk dipahami. Korupsi bansos, elitisme politik yang berbau kasta yang kaku, hingga tumpang tindih hukum yang tumpul kebawah, menjadikan analitis pemikiran Camus masih cocok untuk kita renungkan.
Hidup ini tidak layak dijalani, tetapi Camus lebih setuju dengan menjalani hidup penuh keberanian walau kadang kita terseok-seok untuk menjalaninya. Bagi Camus, keberanian dan pemberontak dalam diri adalah kekuatan utuh menerjang kehipokrtian hidup. Dari pada mati bunuh diri yang lebih absurd dan terpaksa kalah, sebagai tanda tak berfungsinya rasionalitas dan kekuatan tubuh yang telah diberikan alam.
Pasrah akan keadaan? Menyingsingkan lengan dan mulai bergerak? Itu semua hak milik individu untuk menjawab dan menjalani dunia mereka. Bagi Nietsche, kekekalan akan individu untuk menjalani hidup sepenuhnya adalah sebuah keniscayaan dan keharusan, sebagai sebuah ciri khas atas individu itu sendiri.