Review Film Marbot, Ketika Pengabdian Keluarga Dijadikan Warisan

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Marbot, Ketika Pengabdian Keluarga Dijadikan Warisan
Poster Film Marbot (Instagram/ klikfilm)

Secara nggak terduga di penghujung Agustus 2024, rilis sebuah film yang nggak biasa dari KlikFilm, “Marbot”. Merupakan film drama keluarga religi yang bisa dibilang telah berhasil mewarnai dunia perfilman Indonesia dengan tema kisah yang unik tapi dikemas sederhana. Film ini disutradarai Ario Rubbik dan diproduseri serta ditulis oleh H. Rano Karno.

Film Marbot menyoroti Malik (M. Zayyan Sakha), pemuda yang baru saja pulang dari pondok pesantren setelah enam tahun mondok. Saat kembali ke kampung halaman, dia mendapati musala yang dulu dirawat ayahnya kini nggak terurus. Ayah Malik, yang merupakan sosok marbot, telah meninggal dunia, dan meninggalkan tugas tersebut kepada Nyak-nya (Annisa Trihapsari). Dengan kekhawatiran akan masa depan musholla, ibunya mengharapkan Malik menjadi marbot, padahal Malik punya keinginan besar untuk melanjutkan kuliah dan meraih impian. Sederhana tapi menarik, kan? 

Ulasan:

Mengikuti perjalanan Malik, jelas sekali, konflik utama Film Marbot terletak pada dilema Malik antara; melanjutkan pendidikan kuliah atau memenuhi harapan ibunya. Malik, yang memiliki impian untuk lanjut kuliah dan meraih cita-cita, agaknya merasa ‘tertekan dilema’ oleh tanggung jawab yang diwariskan kepadanya. 

Selama menyaksikan pun, aku merasa, ‘naskah film ini memang dibuat sederhana, tapi nggak menutupi daya tariknya’. Yang jelas Film Marbot menonjolkan tema pengabdian dan tanggung jawab dalam keluarga. Sepanjang durasi yang cuma ±89 menit, film ini mampu menggambarkan profesi marbot, meskipun seringnya dianggap sepele, tapi nyatanya itu pekerjaan mulia yang memerlukan dedikasi dan ikhlas. Film ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana tradisi dan nilai-nilai keluarga dipertahankan di tengah perubahan zaman. Salut, sih!

Jujurly, dialognya yang autentik dengan logat Betawi, bikin nuansa lokal dalam film jadi kental. Penggunaan logat Betawi, agaknya menciptakan keterhubungan yang lebih dalam pada penonton, ‘bila penontonya asli orang Betawi’. Nggak cuma itu, pada beberapa dialog, rupanya berhasil mengangkat emosi para karakter, dan juga tampak realistis.

Namun, sejujurnya, bagiku konflik yang dihadapi Malik terasa agak kurang tajam, kayak lebih berfokus pada dinamika emosi antara ibu dan anak ketimbang pada permasalahan yang lebih besar. Bahkan durasinya pendek. Entah mengapa, beberapa kali aku menonton film Indonesia dari KlikFilm, durasinya selalu nanggung. Terlepas mungkin ada alasannya, tapi aku selalu merasa geregetan dengan durasi sependek itu. 

Oke deh. Pada penghujung impresi, bagiku Film Marbot berhasil menyajikan kisah yang sederhana tapi punya pesan moral kuat. Bahkan, Film Marbot pun menawarkan perspektif baru terkait profesi ‘marbot’ dan pentingnya menjaga tradisi keluarga di era modern. Seperti halnya diriku yang asing dengan istilah maupun profesi ‘marbot’, dari film ini akhirnya mendapatkan pemahaman terkaitnya. 

Skor dariku: 6,5/10. Anggaplah diriku memang terlalu menuntut lebih pada film ini, tapi lagi-lagi ini hanya soal selera dan subjektivitas, jadi bila kamu punya pandangan lain mengenai film ini, jangan julid dan suarakanlah! Ups. Selamat nonton ya. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak