“Kau tahu benda-benda mati, sesungguhnya tidak benar-benar mati. Bubungan, kayu, kasau, atap, lantai papan, semuanya ‘bernyawa’, mereka bertahan, sementara kita yang hidup biasanya rapuh dan berakhir.”
Bagaimana mungkin benda mati adalah hidup, meskipun yang hidup nantinya berakhir menjadi benda mati? Mengapa kerapuhan dan kelemahan menduduki punggung makhluk hidup tetapi menetaki benda mati sehingga mereka bertahan jauh bahkan setelah ditelan zaman?
Apa eksistensi manusia di mata kehidupan? Apa yang seharusnya dilakukan manusia agar eksistensinya tidak dipugar oleh ruang dan waktu?
Ada ribuan pertanyaan ketika kita melihat kondisi yang ada saat ini di permukaan tanah yang dipijaki cuaca dan dekade. Sedikit demi sedikit mengurai apa yang manusia lakukan ketika mereka melukai alam di bawah matanya.
Ada banyak fenomena yang terjadi karena manusia dan harus diselesaikan oleh manusia juga. Hanya saja, sifat manusiawi manusia adalah sifat paling mengesalkan karena segala sesuatu dipandang sebagai naluri kehidupan yang entah benar atau salah dianut oleh manusia itu sendiri.
Erni Aladjai dalam imajinasinya mengolah ide dan menciptakan napas-napas kehidupan dari visualisasi dan penceritaan novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga.
Di pemandangan pertama, buku ini menyajikan kontrak mata dengan ilustrasi pohon cengkih lengkap dengan detail daun, bunga, buah, batang, dan akar, sepasang mata spesial, dua ekor ikan, uniknya sisi lain dari gambar tersebut membentuk wajah gurita.
Setelah kontrak mata, buku ini menyodorkan kontrak hati. Di bagian belakangnya tersaji potongan kisah dan sebait ulasan tentang isi buku. Sebuah kata kunci ditekankan pada kalimat yang muncul, cengkih.
Jauhkan diri dari aroma manis yang menyesakkan, karena Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga karya Erni Aladjai tak hanya menyuguhkan harumnya perkebunan cengkeh, tapi juga misteri yang menggelitik. Berlatar Desa Kon, novel ini mengajak kita melangkah ke Indonesia Timur, tempat tradisi dan hal-hal gaib berkelindan.
Seperti diketahui, tanaman cengkih adalah tanaman rempah yang memiliki banyak khasiat. Harganya juga cukup lumayan untuk bertahan di panggung pasar, hanya saja oleh manusia tidak bertanggung jawab diulak-alikkan sampai menjadi alas kaki.
Namun, novel ini tidak berhenti pada pembahasan tentang pohon cengkih saja. Ala dan Haniyah –sang tokoh utama– sebagai figur anak dan ibu yang sangat menjunjung tinggi hakikat kehidupan, berdamai dengan alam, merawat peninggalan leluhur mereka: rumah Teteruga dan kebun cengkih. Mereka hidup bersahaja di tengah penduduk desa yang mengamini prinsip toleransi dan sosialisasi.
Novel ini mengisahkan sebuah keluarga yang tidak lengkap yang hidup di tengah masyarakat dengan segala latar yang berbeda sehingga harus hidup dalam nuansa toleransi, simpati, dan empati.
Ala –si bocah ajaib- yang bisa melihat hal-hal gaib di sekitarnya. Ia memperoleh penglihatan dan bertemu dengan Ido alias Madika yang hidup berpuluh-puluh tahun sebelum kelahiran Ala sebagai sosok arwah anak kecil yang menyimpan misteri di bawah kolong nenek buyut Ala.
Rasa ingin tahu Haniyah membawanya pada persahabatan unik dengan Ala, jalinan tak biasa yang menantang prasangka dan norma desa.
Ia digiring untuk mengenal Naf Tikore yang bagi masyarakat tidak memiliki visual baik dan benar karena tidak mempercayai satu agama apa pun dan dituding memiliki hubungan roh atau binatang penunggu yang jahat sehingga dianggap berbahaya untuk didekati.
Novel ini ibarat rempah-rempah khas Indonesia Timur. Ada aroma budaya dan tradisi lokal yang kental. Deskripsi tentang panen cengkeh dan kepercayaan masyarakat setempat terasa nyata, membawa kita ke jantung desa yang penuh kehidupan.
Namun, jangan terlena dengan wangi itu. Ada bumbu misteri yang membuat kita tak bisa berhenti menebak. Sosok Ala yang tak terbaca, bayang-bayang pembunuhan yang belum terungkap, membuat kita terus menerka rahasia yang tersimpan di balik dinding Rumah Teteruga.
Di tengah misteri, kisah ini juga menghangatkan hati dengan persahabatan yang tak biasa. Haniyah, gadis desa yang polos, bersahabat dengan Ala yang penuh teka-teki.
Persahabatan ini menjadi benang merah yang mengikat pembaca pada kisah, membuat kita penasaran tentang arti penerimaan dan ikatan yang melampaui batas perbedaan.
Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga mungkin tak memberikan jawaban hitam putih tentang fantasi atau realitas. Namun, novel ini menawarkan perjalanan ke desa cengkeh yang penuh kejutan, mengajak kita merenungkan arti persahabatan, serta membuka mata terhadap dunia yang tak selalu bisa dijelaskan logika.
Desa Kon dipilih penulis sebagai lokasi tempat hidup para tokohnya. Novel ini dihidupkan oleh pengalaman hidup Ala yang memiliki kekurangan fisik, yaitu mata julingnya yang berwarna merah. Ia mengalami perundungan akibat ketidaksempurnaan itu.
Ibunya, Haniyah, seorang janda yang bijaksana dan perkasa menjadi kepala keluarga, merawat rumah Teteruga dan kebun cengkih sebagai warisan leluhur.
Naf Tikore yang muncul sebagai orang yang terasing di masyarakat karena gosip-gosip angin yang tidak terbukti kebenarannya. Ido sebagai arwah yang muncul secara ajaib dengan kisah hidup tragis yang membendung cerita pada sisi horornya.
Guru Hijima dan teman-teman Ala sebagai figur negatif yang suka merundung dan memiliki pengaruh besar terhadap tantangan hidup Ala di sekolah, menjadikannya kehilangan motivasi untuk pergi ke sana. Juga para tetangga yang tak luput diikutkan dalam dinamika cerita, terutama ketika panen raya buah cengkih.
Setelah mendapatkan pengalaman mistis yang unik, Ala kembali pada masalahnya di sekolah tentang perundungan. Meski akhirnya ia mampu menegarkan dan memantapkan diri untuk berani melawan ketidakadilan yang diterimanya.
Ia juga membuktikan kepada penduduk Desa Kon untuk tidak lekas menyimpulkan karakter orang hanya dari rumor dan gosip.
Ala membuktikan bahwa Naf Tikore adalah orang biasa yang tidak memiliki sihir, tidak menjalin kontrak apa pun dengan binatang penunggu atau roh jahat. Ia hanya memutuskan untuk tidak memiliki kepercayaan pada Ilahi.
Sang Ibu, Haniyah, hadir sebagai sosok yang kuat dan berani. Ia memunculkan sisi ketidakgentarannya ketika mendapat informasi bahwa Ala, putrinya mendapatkan perundungan, dan ketika pemerintah membuat sebuah keputusan merugikan bagi petani cengkih karena BPPC.
Ia menanamkan pemahaman kepada putrinya bahwa segala yang diwariskan oleh leluhur atau alam sendiri memang harus dijaga dengan baik.
Ia memperkenalkan cara untuk mempertahankan eksistensi manusia yang seharusnya pada Ala: menghargai, menjaga, dan menahan diri.
Buku ini disampaikan dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami dan terasa ringan untuk dibaca. Alurnya tidak menjenuhkan, meski beberapa bagian sebenarnya bisa untuk dialiri kembali dengan kisah tidak terduga lain.
Buku ini cocok dibaca sebagai bahan rekreasi dan referensi pembelajaran di sekolah karena memuat nilai moral, titian kebudayaan dan tradisi, mitos, deskripsi yang memudahkan pembaca mengelola imajinasi, dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya, buku ini menegaskan bahwa eksistensi manusia yang rapuh hanya bisa dikokohkan dengan diri sendiri, melalui kerendahan hati, upaya mempertahankan apa yang harusnya tidak dihancurkan (alam), dan menahan diri untuk tidak tamak terhadap pemberian yang ada.
Buku ini mengingatkan bahwa kehidupan bukan diisi oleh manusia, melainkan banyak makhluk atau benda lain yang ada di dalamnya.
Bagi penggemar cerita rakyat dan fantasi, Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga adalah sebuah angin segar. Novel ini berhasil menggabungkan unsur-unsur magis dengan realitas kehidupan sehari-hari dengan begitu apik, menghasilkan sebuah kisah yang tak kalah menarik dengan dongeng-dongeng klasik yang kita kenal.
Tidak hanya menghibur, novel yang menyabet penghargaan DKJ 2019 ini juga memberikan inspirasi untuk lebih menghargai alam dan keberagaman budaya di sekitar kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS