Pernahkah kalian membayangkan ketika sudah di masa tua, yang hanya tinggal menunggu ajal menjemput, namun tidak ada anak dan keluarga di sisi? Menyedihkan, namun begitulah mungkin yang dirasakan oleh Restiana, seorang ibu dari 3 orang anak.
Di saat usia lanjut, setiap orang tua pasti menginginkan keluarganya berkumpul di dekatnya. Bukan malah sebaliknya, ditempatkan di panti jompo. Novel yang berjudul Jangan Buang Ibu, Nak ini adalah novel yang ditulis oleh Wahyu Derapriyangga. Buku ini ditulisnya karena terinspirasi dari kunjungannya ke sebuah panti jompo.
Sahabat, ini hanyalah sebuah kisah sederhana yang kutulis sebagai bahan renungan. Kisah ini terinspirasi saat kunjunganku ke sebuah panti jompo di wilayah kota Yogyakarta. Di sanalah aku melihat mereka duduk bersandar di masing-masing teras kamarnya, tanpa ekspresi dan tanpa impian. Mereka hanya menanti, menanti hingga tiba ketetapan Ilahi atas diri mereka. Dapat kurasakan kerinduan di mata mereka, karena tahukah engkau sahabat, betapapun banyaknya upaya yang kita lakukan untuk menghiasi hari-hari mereka, namun tak sanggup rasanya memberikan apa yang sesungguhnya mereka inginkan—kehangatan sebuah keluarga. (Kata Pengantar, halaman v).
Jangan Buang Ibu, Nak pertama kali dicetak pada tahun 2014. Sebuah novel lama namun sangat berkesan bagi saya. Saya lupa kapan membaca novel ini. Mungkin sekitar 5-6 tahun yang lalu. Namun, satu hal yang saya ingat, novel ini berhasil membuat saya menangis lewat diksi dan kalimatnya yang begitu dalam.
Alur novel ini berjalan linier, menampilkan perjalanan hidup sang ibu dari saat anaknya masih kecil hingga besar dan punya kehidupan sendiri. Pengorbanan dan perjuangannya untuk anak-anaknya, untuk menyambung hidup dan menyambung pendidikan anak-anaknya. Wahyu berhasil menuliskan kalimat-kalimat yang menggambarkan betapa letih dan hebatnya perjuangan Restiana—tokoh utama di novel ini.
Gaya bahasa Wahyu dalam novel ini lugas, dengan narasi yang sederhana namun mengena. Dialog-dialog antar tokoh pun juga dihadirkan dengan alami dan emosional, menciptakan suasana yang nyata dan dekat bagi pembaca. Tanpa menggunakan kata-kata yang terlalu rumit, novel ini tetap mampu menampilkan kedalaman emosional yang kuat, menjadikannya bacaan yang mudah dipahami namun tetap bermakna. Wahyu juga berhasil membuat pembaca merasa terhubung dengan perasaan sang ibu, menghadirkan empati yang mendalam dan refleksi akan kehidupan.
Salah satu bagian yang paling mengharukan adalah surat Restiana kepada anak-anaknya di akhir novel. Ada paragraf yang membuat saya terenyuh pada saat membacanya.
Nak, apa yang membuat kalian lupa terhadap Ibu? Masih kurangkah perjuangan yang selama ini lbu lakukan untuk kalian? Apa salah Ibu hingga kalian tega membuang lbu ke tempat ini? Ketahuilah, Nak. Apa pun yang kalian lakukan terhadap Ibu, seberapa pun kalian berusaha menjauhi Ibu, betapa pun kalian membenci Ibu, Ibu tak akan pernah membenci kalian. Kasih sayang dan doa dari mulut ini, tak akan berhenti hingga Ibu dipanggil oleh sang Ilahi. (Epilog, halaman 207-208).
Surat ini adalah bentuk ungkapan cinta seorang ibu yang tidak tergoyahkan walaupun diabaikan dan akan tetap mendoakan anaknya hingga akhir hayatnya walaupun dirinya dilupakan.
Jangan Buang Ibu, Nak adalah lebih dari sekadar cerita. Buku ini seperti cermin yang mengajak kita untuk merenungkan hubungan kita dengan orang tua dan mengingatkan bahwa kasih mereka adalah hal paling berharga yang tidak bisa digantikan.
Bagi pembaca yang menyukai novel drama sedih namun penuh pelajaran dan inspiratif, Jangan Buang Ibu, Nak adalah pilihan bacaan yang layak untuk dipertimbangkan. Novel ini menawarkan kisah yang menyentuh hati, mengajak pembaca merenungi arti kasih sayang tanpa syarat orang tua, khususnya ibu.
Jangan tunggu waktu berlalu untuk bisa menghargai orang tua. Peluk mereka selagi bisa, ucapkan terima kasih selagi mereka bisa mendengar, karena sesal tidak akan berarti lagi di sisi pusara yang bisu.