Pernahkah Anda merasa tertarik dengan film berkonsep time loop yang membawa nuansa Islami? Indonesia sebelumnya sudah menyuguhkan beberapa film dengan konsep serupa, seperti Sabar Ini Ujian (2020) dan Kembang Api (2023).
Kini, Satu Hari dengan Ibu mencoba menghadirkan drama keluarga dengan latar belakang yang serupa. Dibintangi oleh Vonny Anggraini, Muzakki Ramdhan, dan Hifdzi Khoir, film ini juga menampilkan banyak wajah baru seperti Chand Kelvin dan Vebby Palwinta.
Disutradarai oleh Amrul Ummami, yang juga menulis skenario bersama Ali Ghifari, film ini menawarkan cerita yang jarang ditemui di Indonesia.
Dewa (Chand Kelvin) adalah anak satu-satunya dari seorang ibu tunggal (Vonny Anggraini) yang menjadi sangat membangkang setelah kematian ayahnya. Dia sering membentak ibunya dan jarang berbuat baik.
Namun, setelah melihat ibunya meninggal dan tiba-tiba terbangun lagi pada suatu pagi, Dewa mendapati dirinya mengulang hari yang sama berulang-ulang.
Dia harus menemukan cara untuk menghentikan pengulangan waktu yang dialaminya dengan melakukan dan menyadari sesuatu yang penting.
Meskipun menjadi film ketiga di Indonesia dengan konsep time loop setelah Sabar Ini Ujian dan Kembang Api, Satu Hari dengan Ibu memiliki banyak kelemahan.
Skenarionya tidak memberikan penawaran lebih dan hanya mengandalkan konsep pengulangan waktu. Bahkan, film ini gagal memanfaatkan konsep tersebut dengan baik.
Jika dibandingkan dengan berbagai film time loop lain yang sudah rilis, Satu Hari dengan Ibu terasa sangat jauh di belakang. Film ini bahkan tidak bisa dibandingkan dengan Sabar Ini Ujian.
Ambisi film ini untuk menyampaikan serangkaian pesan moral dan dakwah-dakwah Islami juga berakibat fatal terhadap kebutuhan film ini sendiri.
Film seharusnya menjadi medium yang menuntut kreativitas, inovasi, dan eksplorasi, berbeda dengan video orasi keagamaan. Satu Hari dengan Ibu bahkan lebih buruk dibandingkan Pelangi Tanpa Warna (2022) karena khotbah yang terlalu banyak.
Latar belakang kesukaan Putri terhadap Dewa juga tidak terjawab, menjadikannya sekadar tokoh tempelan tanpa dimanusiakan.
Pesan moral tentang bakti anak kepada ibu memang penting, tetapi ini adalah medium film, bukan mimbar dakwah. Ada aspek-aspek filmis dan pengolahan skenario yang seharusnya diperhatikan.
Film ini terlalu sering menyampaikan pesan moral atau nilai-nilai keagamaan secara tersurat lewat dialog, seperti yang sering terjadi pada film-film Indonesia dengan tema-tema Islami.
Misalnya, seri Surga yang Tak Dirindukan (2015, 2017, 2021) dan Hati Suhita (2023).
Aspek kreatif seperti busana juga tidak mendapatkan sorotan yang cukup untuk mendukung kebutuhan emosi atau dramatisasi cerita. Busana dalam film ini hanya disamakan dari hari ke hari untuk menandakan pengulangan waktu, tanpa variasi yang menarik.
Suara dari audio film ini juga pecah, seolah banyak orang saling teriak sepanjang film. Pemilihan musik juga sering meleset, memotong adegan secara tiba-tiba.
Satu Hari dengan Ibu hanyalah sajian bertendensi dakwah keagamaan tanpa memedulikan bagaimana sebuah film seharusnya dibuat. Meskipun mengemas cerita dengan konsep time loop yang jarang, film ini tidak berhasil menghadirkan kualitas yang diharapkan.
Salah satu kekecewaan terbesar adalah masuknya video tanpa motif yang menutup film ini, seperti yang terjadi pada Surga di Bawah Langit (2023).
Sebagai konten dakwah, Satu Hari dengan Ibu mungkin sarat kebaikan, tetapi sebagai sebuah film, ia gagal memenuhi ekspektasi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS