Film "Upstream" yang tayang di Netflix berhasil menarik perhatian banyak penonton dengan kisahnya yang menyentuh, menghibur, sekaligus membuka mata.
Disutradarai dan dibintangi aktor terkenal Xu Zheng, film ini memberikan gambaran realistis tentang kerasnya kehidupan pekerja ojol dan kurir makanan, terutama dalam konteks ekonomi yang semakin tidak pasti.
Kisahnya berpusat pada Gao Zhilei, seorang pria paruh baya yang kehilangan pekerjaannya sebagai programmer akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan kondisi keuangan yang semakin terhimpit, tabungan yang ludes, dan ayah yang membutuhkan biaya perawatan medis, Gao beralih menjadi pengemudi pengantar makanan untuk membayar cicilan rumahnya.
Namun, pekerjaan ini bukanlah jalan yang mudah. Gao harus menghadapi kerasnya dunia kerja gig economy: jam kerja hingga 14 jam sehari, tekanan untuk memenuhi target, serta risiko keselamatan di jalan.
Meskipun begitu, film ini menyelipkan banyak momen solidaritas dan humor di antara sesama kurir, menciptakan keseimbangan antara drama dan harapan.
Kritik Sosial yang Mengena
Di balik ceritanya yang humanis, "Upstream" juga menyuarakan isu-isu penting seperti diskriminasi usia dalam dunia kerja, tingginya biaya properti, dan sistem kerja yang eksploitatif.
Salah satu hal yang menonjol adalah bagaimana sistem aplikasi pengiriman makanan lebih berpihak pada kepentingan platform daripada para pekerjanya. Kurir dengan peringkat rendah harus menerima pesanan dengan jarak jauh dan bayaran kecil, sementara ulasan buruk dari pelanggan bisa langsung memengaruhi penghasilan mereka.
Melalui pengalaman Gao, penonton diajak memahami kerasnya dunia kerja gig economy. Film ini menampilkan bagaimana kurir bekerja dengan cepat dan penuh strategi, seperti menjalin hubungan baik dengan satpam gedung untuk mempercepat pengambilan pesanan atau mempelajari seluk-beluk wilayah yang tidak terjangkau GPS.
Dialog dalam film ini juga sarat makna, salah satunya: "Kita semua berusaha sangat keras untuk diri sendiri dan keluarga. Untuk itu, kita pantas mendapat rasa hormat dan hidup yang lebih baik." Kalimat ini menggambarkan perjuangan para pekerja keras yang layak mendapat penghormatan dan perlakuan adil.
Perubahan Fokus di Paruh Kedua
Meski memulai cerita dengan kritik sosial yang tajam, film ini berubah arah di paruh kedua.
Fokusnya bergeser ke perjuangan Gao untuk menjadi kurir dengan peringkat tertinggi, lengkap dengan adegan bak balapan dan ketegangan penuh aksi. Penonton yang berharap akan kritik sistemik yang mendalam mungkin merasa kecewa, karena film ini lebih memilih jalur optimisme yang klise.
Alih-alih menawarkan solusi konkret untuk memperbaiki kondisi kerja kurir, "Upstream" justru memberikan pesan bahwa keberhasilan hanya bisa diraih dengan meninggalkan pekerjaan blue-collar seperti kurir makanan.
Hal ini mengaburkan pesan awal film yang seharusnya menyoroti pentingnya perlakuan adil terhadap pekerja lapangan.
Pelajaran dan Empati untuk Penonton
Meskipun memiliki kekurangan, "Upstream" tetap berhasil membangun empati penonton terhadap kehidupan kurir makanan. Melalui karakter Gao dan rekan-rekan sesama pengemudi, penonton diajak melihat sisi manusiawi dari mereka yang sering dianggap hanya sebagai "pekerja di balik layar."
Film ini mengingatkan kita untuk lebih menghargai perjuangan orang lain, sekaligus memotivasi penonton untuk menghadapi tantangan hidup dengan keberanian.
Bagi mereka yang tengah berjuang di tengah ketidakpastian, "Upstream" adalah sebuah pengingat bahwa setiap usaha memiliki nilai, dan solidaritas adalah kekuatan besar di masa sulit.
Dengan semua elemen cerita yang menyentuh hati dan membuka mata, "Upstream" menjadi lebih dari sekadar hiburan. Film ini adalah ajakan untuk merefleksikan diri, memahami kondisi sosial di sekitar kita, dan memberi penghormatan kepada mereka yang berjuang demi keluarga dan kehidupan yang lebih baik.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.