Bagaimana jika warna memiliki kekuatan untuk menyimpan ingatan? Jika suatu warna bisa membawa kembali kenangan yang telah lama terkubur, atau bahkan menyembuhkan luka yang tak kasat mata?
Dalam The White Book, Han Kang mengajak pembaca untuk menjelajahi konsep warna putih sebagai simbol dari kehilangan, harapan, dan refleksi eksistensial.
Berbeda dari buku-bukunya sebelumnya, karya ini lebih menyerupai meditasi puitis, menggabungkan esai pendek, prosa reflektif, dan pengamatan visual dalam sebuah perjalanan batin yang mendalam.
Buku ini berangkat dari pengalaman personal penulis, yakni kematian saudara perempuannya yang meninggal hanya beberapa jam setelah dilahirkan. Kehadiran yang begitu singkat ini meninggalkan jejak mendalam dalam keluarga dan menciptakan ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh kenangan yang tak pernah benar-benar ada.
Han Kang memilih warna putih sebagai representasi dari kehilangan ini, mengeksplorasi berbagai benda dan fenomena yang berkaitan dengannya—salju, kain kafan, garam, cahaya bulan—sebagai cara untuk memahami dan merangkum perasaan kehilangan yang tak terungkapkan.
Selain refleksi personal, The White Book juga berbicara tentang sejarah dan trauma kolektif. Setting novel yang berlatar di Warsawa, Polandia, memperkuat tema kehancuran dan rekonstruksi.
Kota ini, yang pernah hancur akibat Perang Dunia II dan kemudian dibangun kembali, menjadi metafora bagi perjalanan manusia dalam menghadapi luka dan kehilangan.
Melalui deskripsi tentang salju yang menyelimuti kota, Han Kang menunjukkan bagaimana sejarah yang kelam tetap dapat menyisakan keindahan dalam bentuk yang lain.
Salju, dalam hal ini, bukan sekadar latar, melainkan simbol dari ketidakberdayaan sekaligus harapan, menyelubungi masa lalu yang menyakitkan dengan kelembutan dan kesunyian.
Tema besar lainnya yang muncul dalam buku ini adalah hubungan antara kehidupan dan kematian. Putih, dalam berbagai budaya, melambangkan awal sekaligus akhir—warna kain kafan yang menutup tubuh yang telah pergi, tetapi juga warna susu yang menandakan kehidupan yang baru lahir.
Dari caranya menghadirkan kontras ini, Han Kang mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kehidupan dan kematian tidak pernah benar-benar terpisah, melainkan saling terkait dalam siklus yang tak terhindarkan.
Lebih dari sekadar buku, The White Book adalah pengalaman membaca yang kontemplatif. Han Kang tidak hanya menyajikan narasi, tetapi juga menciptakan ruang bagi pembaca untuk merenungkan pengalaman kehilangan mereka sendiri.
Melalui bahasa yang puitis dan suasana yang hening, buku ini mengajukan pertanyaan mendalam tentang makna kehidupan, ingatan, dan bagaimana manusia bisa menemukan keindahan dalam kesedihan.
Sebuah karya yang mengajak untuk berpikir, bukan hanya tentang apa yang hilang, tetapi juga tentang apa yang masih tersisa dan bagaimana kita bisa terus melangkah ke depan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS