Leila S. Chudori, siapa yang tak kenal beliau, salah satu penulis Indonesia yang telah berkiprah sejak berusia 12 tahun. Terkenal dengan beberapa novelnya yang bergenre historical fiction, seperti ‘Pulang’, ‘Laut Bercerita’, dan ‘Namaku Alam’. Beberapa penghargaan berhasil diraih Leila S. Chudori, termasuk Southeast Asian Writers Award (SEA Write Award) tahun 2020.
Novelnya, ‘Namaku Alam’ jilid 1 adalah novel keluaran 2023 yang mengisahkan kehidupan seorang anak bernama Alam, Sagara Alam. Ia adalah anak yang tumbuh tanpa pernah mengenal bapaknya. Namun, seumur hidupnya Alam harus menanggung beban sejarah di pundaknya, sesuatu yang baru ia pahami menjelang dewasa.
Memiliki 2 jilid, ‘Namaku Alam’ 1 fokus pada masa kecil Alam, masa di mana Alam bersekolah hingga ia beranjak dewasa. Pada bab Kuning Jingga, Leila S. Chudori menceritakan kehidupan kecil Alam. Bagaimana ia harus menghadapi cemooh dari teman-temannya, bahkan saudaranya sendiri. Bagaimana kehidupan keluarga Alam yang sudah kesulitan sejak dulu. Sedangkan, pada bab Merah Kesumba, diceritakan masa SMA Alam yang terpaksa pindah sekolah karena suatu kejadian dan masa ketika Alam mulai jatuh cinta.
Tragedi kepindahan Alam ternyata menjadikannya lebih baik. SMA Putra Nusa mampu merubah perspektif Alam tentang sekolah yang selama ini tak membuatnya bersemangat. Lewat Putra Nusa, Alam mengenal banyak anak yang masih memikirkan otak, mengenal guru sejarah dengan metode epik dalam mengajar, meski sedikit keluar dari himbauan orde baru kala itu.
Ada hal unik dari diri Alam, meski tak pernah mengenal bapaknya, ia ingat betul sepenggal kisah bersama bapak dan ketika bapak dihukum mati, saat usianya baru 5 tahun. Photographic memory adalah kelebihan Alam. Ia mampu mengingat apa saja yang didengar, dibaca, dilihat sehingga Alam tak pernah pusing memikirkan pelajaran sekolah.
Ada yang membuat Alam pusing dari kelebihan Photographic memory itu, lebih tepatnya ketika mengingatkan pada masa lalu kelam dan menyakitkan, masa lalu yang terus menggantung dalam kehidupan Alam selamanya.
Kendati demikian, Alam memiliki keluarga yang selalu sayang padanya. Ibu, Yu Kenanga, Yu Bulan, Om Aji, Tante Retno, dan Bimo, teman Alam sejak kecil. Bimo dan Alam adalah korban dari kelamnya sejarah Indonesia. Ayah Bimo terpaksa tinggal di Prancis dan tak bisa kembali ke Indonesia. Keduanya telah berbagi masa suka duka bersama. Berbeda dengan Alam yang unggul dalam hal akademik, Bimo unggul dalam hal non akademik yaitu melukis. Sedari kecil Bimo menuangkan segala gelisah hati lewat coretan dimana saja, tak harus kanvas.
Banyak pelajaran hidup yang diselipkan dalam novel Namaku Alam. Tentang cara bertahan hidup, tentang cara menghadapi masa lalu kelam, dan tentang sebuah kesederhanaan. Selain itu, novel ini menyajikan beberapa penjelasan tentang sejarah Indonesia khususnya 1965 dan sejarah lain yang mampu membuka ketertarikan membaca sejarah. Bagi Anda yang tertarik dengan genre historical fiction novel ini harus masuk books list-mu!