Paradoks Era Digital: Akses Finansial Mudah tapi Literasi Keuangan Rendah

Hayuning Ratri Hapsari | Rial Roja Saputra
Paradoks Era Digital: Akses Finansial Mudah tapi Literasi Keuangan Rendah
Ilustrasi kerja sama dagang. (Pixabay/Tumisu)

Kita hidup di zaman yang luar biasa. Hanya dengan beberapa ketukan di layar ponsel, kita bisa membayar kopi, berinvestasi saham, mentransfer uang ke seberang pulau, bahkan mendapatkan pinjaman dana tunai dalam hitungan menit. Secara teknis, masyarakat kita tidak pernah lebih aktif secara finansial seperti sekarang.

Akses terhadap produk keuangan yang dulu rumit dan eksklusif kini terbuka lebar untuk semua orang. Namun, di tengah kemudahan yang memanjakan ini, ada sebuah paradoks yang membingungkan.

Berbagai survei secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat literasi atau pemahaman keuangan masyarakat kita masih tergolong rendah. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin kita begitu akrab dengan alat-alatnya, tetapi begitu asing dengan ilmunya?

Ilusi Kemudahan yang Menumpulkan Nalar Kritis

Salah satu penyebab utamanya justru terletak pada keunggulan terbesar dunia digital itu sendiri, yaitu kemudahan. Aplikasi fintech dirancang untuk memberikan pengalaman yang semulus dan secepat mungkin.

Proses pengajuan pinjaman yang dulu membutuhkan tumpukan dokumen dan waktu berminggu-minggu kini bisa selesai saat kita sedang menunggu pesanan kopi. Kemudahan ini, sayangnya, menciptakan sebuah ilusi yang menumpulkan nalar kritis kita.

Karena prosesnya begitu cepat dan tanpa gesekan, kita sering kali melewati langkah yang paling penting, yaitu berpikir dan merenung. Kita tidak lagi bertanya secara mendalam, apa risiko dari produk ini, bagaimana skema bunganya, atau apakah kita benar-benar membutuhkannya.

Antarmuka aplikasi yang ramah menyederhanakan produk keuangan yang kompleks menjadi sekadar tombol setuju, sementara segala risiko tersembunyi di dalam halaman syarat dan ketentuan yang jarang sekali kita baca.

Banjir Informasi, Kekeringan Pengetahuan

Paradoks berikutnya adalah tentang informasi. Di satu sisi, kita hidup di era banjir informasi keuangan. Tips-tips investasi bertebaran di TikTok, para finfluencer memberikan rekomendasi saham setiap hari, dan artikel tentang cara menjadi kaya bisa kita temukan dengan mudah.

Namun, banjir informasi ini sering kali tidak berbanding lurus dengan kedalaman pengetahuan. Malah sebaliknya, ia bisa menyebabkan kekeringan pengetahuan fundamental.

Banyak orang terjebak dalam fenomena meniru atau menyalin keputusan finansial. Mereka membeli sebuah aset kripto hanya karena sedang ramai dibicarakan, tanpa memahami teknologinya.

Mereka mengikuti strategi investasi seseorang tanpa mengerti profil risikonya sendiri. Mereka belajar apa yang harus dilakukan, tetapi tidak pernah belajar mengapa mereka harus melakukannya. Ini menciptakan fondasi keuangan yang sangat rapuh, yang mudah goyah oleh tren sesaat dan sensasi pasar.

Gamifikasi Keuangan, Saat Investasi Menjadi Permainan

Coba perhatikan aplikasi investasi atau perdagangan saham yang populer saat ini. Banyak di antaranya menggunakan elemen permainan atau gamifikasi untuk menarik dan mempertahankan pengguna.

Ada poin, lencana penghargaan, dan animasi konfeti yang meriah setiap kali kita berhasil melakukan transaksi. Pendekatan ini memang berhasil membuat aktivitas keuangan terasa lebih menyenangkan dan tidak mengintimidasi. Namun, ada sisi gelapnya.

Gamifikasi secara tidak sadar mengubah persepsi kita terhadap aktivitas yang seharusnya serius. Investasi yang seharusnya merupakan kegiatan jangka panjang berbasis riset dan kesabaran, kini terasa seperti sebuah permainan yang memacu adrenalin.

Fokusnya bergeser dari membangun kekayaan secara perlahan menjadi mendapatkan keuntungan cepat hari ini. Ini mendorong perilaku spekulatif dan pengambilan risiko yang tidak perlu.

Terputusnya Rantai Edukasi Keuangan Tradisional

Gagasan terakhir mungkin yang paling subtil. Di masa lalu, pendidikan keuangan dasar sering kali terjadi secara organik di dalam keluarga.

Seorang anak mungkin melihat ibunya secara fisik memisahkan uang belanja dalam amplop-amplop berbeda, atau ikut ayahnya menabung di celengan tanah liat. Ada aspek fisik dan visual dari uang yang membantu menanamkan konsep nilai dan kelangkaan.

Di era uang digital yang tak terlihat ini, rantai edukasi informal itu sering kali terputus. Uang kini hanyalah angka abstrak di layar gawai. Anak-anak melihat orang tuanya membayar segala sesuatu hanya dengan menempelkan ponsel, tanpa pernah melihat uang tunai berpindah tangan.

Akibatnya, banyak generasi muda tumbuh tanpa pemahaman intuitif tentang bagaimana uang bekerja, dari mana ia datang, dan ke mana ia pergi.

Pada akhirnya, rendahnya literasi keuangan di tengah derasnya arus digital bukanlah karena masyarakat kita tidak mau belajar. Ini terjadi karena lingkungan digital itu sendiri, dengan segala kemudahan dan kecepatannya, secara inheren mendorong kita untuk bertindak lebih dulu dan berpikir kemudian.

Solusinya bukanlah dengan menolak teknologi, tetapi dengan segera merancang ulang cara kita belajar tentang uang. Literasi keuangan modern bukan lagi hanya tentang cara membuat anggaran, tetapi tentang cara membangun pertahanan kritis terhadap godaan impulsif, cara memfilter informasi yang benar, dan cara memahami psikologi di balik setiap keputusan finansial kita di dunia maya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak