Apa yang bisa mendorong seseorang melakukan tindakan kejam tanpa ampun, bahkan terhadap orang yang tampaknya tidak memiliki hubungan langsung dengan penderitaan hidupnya?
Di balik sebuah kekerasan, seringkali tersembunyi jejak luka yang dalam dan rumit, tak hanya berasal dari satu peristiwa, melainkan tumpukan realitas pahit yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Inilah pertanyaan besar yang digugat dalam novel "Lelaki Harimau" karya Eka Kurniawan. Dengan balutan cerita tragis penuh simbolisme, novel ini mengajak kita menelusuri bagaimana kekerasan bukan hanya tindakan spontan, melainkan akumulasi dari berbagai ketidakadilan yang dibiarkan hidup dalam masyarakat.
Novel ini berpusat pada kisah Margio, seorang pemuda yang tumbuh di sebuah desa kecil dengan kehidupan keluarga yang keras dan penuh tekanan.
Pada pembukaan cerita, pembaca langsung disuguhkan pada peristiwa pembunuhan brutal terhadap Anwar Sadat, seorang pria tua yang tampaknya hidup biasa saja. Namun, seiring cerita bergulir, terungkap bahwa kekerasan ini bukan sekadar tindakan tanpa alasan.
Margio hidup dalam lingkaran kekerasan domestik yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya, situasi yang memaksa anak muda itu memendam kemarahan tanpa ruang pelarian.
Margio percaya bahwa dalam dirinya bersemayam harimau putih, simbol dari kekuatan sekaligus kutukan yang akhirnya mengambil alih dirinya dalam puncak kemarahan.
Tema besar dalam novel ini berbicara tentang bagaimana kekerasan bisa diwariskan secara sosial dan psikologis. Tanpa sadar, masyarakat sering menormalisasi tindak kekerasan dalam rumah tangga, seolah-olah itu bagian dari kehidupan yang harus diterima.
Margio merupakan gambaran nyata dari generasi yang lahir dan tumbuh dalam kondisi ini. Tak ada sistem sosial yang mampu membebaskannya, tak ada figur yang cukup kuat untuk memutus lingkaran tersebut.
Akibatnya, segala ketidakberdayaan itu mencari jalan keluar dalam bentuk yang paling ekstrem, yakni pembunuhan.
Melalui pendekatan ini, "Lelaki Harimau" tidak sekadar bercerita tentang tragedi individu, tetapi juga tentang kegagalan masyarakat dalam menciptakan ruang aman bagi korban kekerasan.
Kisah Margio juga menyinggung bagaimana mitos dan kepercayaan lokal berperan dalam membentuk identitas dan tindakan manusia.
Keberadaan harimau putih dalam tubuh Margio bukan hanya metafora untuk amarah, tetapi juga simbol dari warisan cerita-cerita lama yang mengajarkan bahwa manusia dan binatang buas kadang tak bisa dibedakan, terutama ketika naluri bertahan hidup atau menuntut keadilan tak lagi bisa dikendalikan dengan akal sehat.
Lewat narasi yang mengalir tanpa belas kasih namun penuh puisi, Eka Kurniawan memperlihatkan betapa mengerikannya dampak akumulasi luka sosial yang tak pernah disembuhkan.
Lebih dari sekadar kisah pembunuhan, "Lelaki Harimau" adalah potret tentang bagaimana kekerasan sistemik, ketidaksetaraan gender, dan trauma kolektif bisa hidup berdampingan dalam sunyi, sebelum akhirnya meledak dalam tragedi.
Novel ini menjadi pengingat bahwa tanpa upaya nyata memutus rantai kekerasan, luka masa lalu akan terus menjelma menjadi monster dalam diri generasi penerusnya.