Ulasan Film 'Setetes Embun Cinta Niyala', Dilema Cinta dan Perjodohan

Sekar Anindyah Lamase | Sabit Dyuta
Ulasan Film 'Setetes Embun Cinta Niyala', Dilema Cinta dan Perjodohan
Poster film Setetes Embun Cinta Niyala (dok. Netflix)

"Setetes Embun Cinta Niyala" merupakan film drama religi Indonesia yang diadaptasi dari novel bestseller karya Habiburrahman El Shirazy, penulis terkenal lewat karya-karya seperti "Ayat-Ayat Cinta" dan "Ketika Cinta Bertasbih".

Film ini dirilis secara global di platform Netflix pada Senin, (31/03/2025), bertepatan dengan momen Lebaran, menjadikannya salah satu tontonan keluarga yang dinantikan.

Produksi film ini merupakan hasil kolaborasi antara MD Entertainment dan Netflix, menandai langkah besar industri film Indonesia dalam menggaet penonton internasional.  

Bagi penikmat drama religi dengan konflik cinta, pengorbanan, dan nilai-nilai keislaman, film ini menawarkan kisah yang familiar namun dibungkus dengan produksi berkualitas.

Namun, apakah "Setetes Embun Cinta Niyala" sekadar mengulang formula lama atau membawa sesuatu yang segar? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.  

Sinopsis

Film ini mengisahkan perjalanan hidup Niyala (Beby Tsabina), seorang dokter muda dari keluarga sederhana yang terpaksa menerima perjodohan dengan Roger (Dito Darmawan), putra seorang pengusaha kaya, demi melunasi utang keluarganya.

Sementara itu, Faiq (Deva Mahenra), pria yang sejak kecil dicintainya, memilih menikahi Diah (Caitlin Halderman) karena alasan yang juga berkaitan dengan tekanan keluarga.  

Konflik utama film ini berpusat pada pergulatan batin Niyala antara menuruti keinginan orang tua atau memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. 

Adegan-adegan emosional seperti protes diam Niyala terhadap pernikahan paksa, interaksi penuh ketegangan dengan Faiq, serta monolog Diah yang mengungkap rahasia pernikahannya, menjadi sorotan utama cerita. Film ini diakhiri dengan pesan tentang keikhlasan, penerimaan takdir, dan makna cinta sejati dalam perspektif Islam.

Ulasan

Meski mengusung tema religi, "Setetes Embun Cinta Niyala" secara tidak langsung menyoroti praktik perjodohan yang masih terjadi di beberapa kalangan masyarakat Indonesia.

Niyala digambarkan sebagai korban sistem yang menempatkan kewajiban anak kepada orang tua di atas kebahagiaan pribadi. Hal ini memicu pertanyaan: Sejauh mana agama bisa menjadi alat pembenaran untuk memaksakan kehendak?

Film ini juga menyentuh isu patriarki, di mana keputusan besar dalam hidup perempuan (seperti pernikahan) sering kali diambil oleh laki-laki (ayah atau suami). Meski ending-nya terkesan "pasrah", karakter Diah memberikan sedikit kritik dengan menyatakan: "Kau (Faiq) tidak berani jujur pada perasaanmu sendiri."  

Selain itu, Niyala digambarkan sebagai sosok perempuan shalihah yang rela berkorban, sebuah narasi yang kerap muncul dalam drama religi. 

Namun, film ini berhasil memberi sedikit nuansa berbeda lewat keteguhan Niyala sebagai seorang dokter, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya kehilangan identitas di luar peran sebagai istri atau anak.  

Di sisi lain, karakter Diah justru lebih menarik karena meski awalnya tampak sebagai "lawan", ia justru mengungkap kebobrokan dalam hubungan pernikahan yang dipaksakan. Ini menjadi kritik halus terhadap pernikahan tanpa dasar cinta, meski secara formal memenuhi syarat agama.

"Setetes Embun Cinta Niyala" tidak banyak membawa terobosan baru dalam genre drama religi Indonesia. Film ini masih berkutat pada konflik klasik perjodohan, pengorbanan perempuan, dan resolusi berbasis tawakal. 

Namun, kehadiran karakter seperti Diah dan penggambaran Niyala yang tidak sepenuhnya pasif memberi sedikit warna berbeda.  

Dari segi produksi, film ini layak diapresiasi dengan sinematografi yang memukau dan akting solid dari para pemain. Bagi penonton yang menyukai kisah-kisah religi penuh hikmah, film ini bisa menjadi pilihan.

Namun, bagi yang mencari kritik sosial lebih dalam atau narasi segar tentang perempuan dalam Islam, mungkin perlu menantikan adaptasi lain yang lebih berani.  

Akhir Kata, "Setetes Embun Cinta Niyala" adalah cermin dari paradoks dalam masyarakat religius—antara nilai kesalehan dan kebebasan individu. Film ini berhasil menghibur, tapi juga meninggalkan pertanyaan: Haruskah pengorbanan selalu menjadi jalan satu-satunya?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak