Review Novel 'Kerumunan Terakhir': Viral di Medsos, Sepi di Dunia Nyata

Hernawan | Sabit Dyuta
Review Novel 'Kerumunan Terakhir': Viral di Medsos, Sepi di Dunia Nyata
Novel Kerumunan Terakhir (Gramedia)

Dirilis pada tahun 2016, "Kerumunan Terakhir" merupakan novel kelima dari Okky Madasari, seorang penulis Indonesia yang dikenal melalui karya-karyanya yang sarat dengan kritik sosial dan refleksi terhadap problematika kemanusiaan.

Novel ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan sempat pula diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul "The Last Crowd".

Dalam "Kerumunan Terakhir", Okky Madasari mengangkat tema yang sangat relevan dengan kehidupan generasi masa kini: eksistensi diri di tengah gegap gempita media sosial.

Untuk siapa pun yang penasaran dengan bagaimana media sosial bisa memengaruhi cara seseorang memandang hidup, identitas, hingga realitas, novel ini layak dijadikan bacaan wajib.

Nah, ulasan ini akan menggali lebih dalam isi novel dan bagaimana cerita di dalamnya mencerminkan kenyataan sosial yang kerap terjadi di sekitar kita.

Cerita berpusat pada Jayanegara, seorang pemuda yang hidupnya stagnan dan dipenuhi dengan kekecewaan. Ia gagal menyelesaikan kuliah, hidup dalam keluarga yang tidak harmonis, dan merasa terasing dari dunia nyata.

Dalam usaha mencari arti hidup yang baru, Jaya memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan berkenalan dengan dunia media sosial.

Di sinilah ia menciptakan persona baru bernama Matajaya, karakter fiksi yang mampu menarik perhatian dan simpati banyak pengguna media sosial. Keberhasilan Matajaya membuat Jaya merasakan kekuasaan dan eksistensi yang belum pernah ia raih sebelumnya.

Namun, alih-alih memperbaiki hidupnya, keberadaan identitas virtual ini justru menjadi bumerang. Jaya semakin larut dalam dunia maya dan kehilangan jati diri sejatinya. Ia hidup untuk kerumunan yang memujanya, bukan untuk realitas yang nyata.

Obsesi terhadap citra digital membuatnya sulit membedakan antara dunia nyata dan virtual, yang pada akhirnya menyeretnya dalam konflik batin dan kehancuran hubungan sosial.

"Kerumunan Terakhir" bukan hanya sekadar kisah tentang media sosial. Lebih dari itu, novel ini merupakan kritik tajam terhadap budaya validasi yang kini menguasai masyarakat.

Okky Madasari menyinggung bagaimana orang-orang, terutama generasi muda, kerap mengukur harga diri dari jumlah like, follower, atau komentar di dunia maya.

Novel ini menantang pembaca untuk merefleksikan kembali posisi diri mereka di tengah budaya “kerumunan digital” yang kadang mengikis esensi kemanusiaan dan kejujuran diri.

Relevansi cerita dalam novel ini begitu kuat dengan fenomena sosial masa kini. Banyak individu yang merasa lebih hidup di dunia maya dibanding dunia nyata.

Tidak sedikit pula yang rela memalsukan identitas, memanipulasi fakta, bahkan mengorbankan nilai-nilai moral demi mendapat pengakuan publik digital.

Dalam konteks ini, Jayanegara adalah simbol dari generasi yang kehilangan arah karena terlalu sibuk membentuk citra, bukan karakter.

Lebih jauh, "Kerumunan Terakhir" juga membuka ruang diskusi mengenai peran media sosial sebagai alat yang bisa membebaskan sekaligus menjerat.

Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi siapa pun untuk didengar dan dilihat. Namun di sisi lain, ia menjadi jebakan ilusi yang menggoda banyak orang untuk hidup dalam kepalsuan.

Novel ini juga menggambarkan bagaimana teknologi bisa mengasingkan manusia dari dirinya sendiri jika tidak disikapi dengan bijak dan sadar. Bacaan yang menggugah sekaligus menyentil.

Sebagai kesimpulan, "Kerumunan Terakhir" merupakan novel yang cerdas dalam menyuarakan keresahan sosial di era digital.

Okky Madasari mampu menuliskannya dengan gaya bahasa lugas dan mendalam, yang membuat novel ini sukses mengajak pembaca merenungi kembali pentingnya kejujuran identitas, kesadaran sosial, dan keteguhan diri di tengah gempuran media sosial.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak