Dalam hidup, seringkali kita terpaksa untuk berpura pura menjadi berbagai persona hanya karena untuk terlihat baik-baik saja. Pengalaman masa lalu yang kita lewati terkadang membentuk diri kita yang sekarang.
Itulah narasi yang diangkat pada buku yang berjudul Ambivert yang ditulis oleh Arshy Mentari dan diterbitkan oleh penerbit buku mojok. Buku yang berisi refleksi dan curahan hati seorang anak tengah perempuan yang sedang beranjak dewasa dan terjebak di fase quarter life crisis.
Pengalaman pengalaman di masa lalu itulah yang membuat dia terpaksa berpura-pura menjadi berbagai persona di kehidupannya. Mulai dari pola asuh keluarga, pertemanan, hingga kisah percintaan yang toxic membuat banyak sekali hal yang membuat dia kehialangan sosok dirinya yang sebenarnya.
Buku ini terbilang sangat ringan karena hanya terdiri dari 114 halaman yang terdiri dari refleksi kehidupan dari seorang perempuan.
Walaupun buku ini termasuk fikis, namun penulis berhasil membuat sebuah tulisan yang sangat dekat dengan kehidupan. Banyak kutipan-kutipan inspiratif, motivasi, hingga penyemangat hidup yang akan membuat kita berhenti sejenak dan berpikir.
Salah satu kutipan menarik dari buku ini yaitu "Kenapa harus sulit melupakan, padahal bukan itu yang kita butuhkan. Apa gunanya lupa, bahkan hati tak punya muatan ingatan, ia hanya mengerti rasa. Kita hanya perlu menyelesaikannya, sebelum pergi, sebelum lari."
Kutipan ini menyiratkan bahwa terkadang dalam hidup kita seringkali mendapat stigma bahwa melupakan adalah tolak ukur seseorang sudah move on dalam suatu hubungan. Namun pada kenyataanya, move on bukan melulu soal melupakan.
Terkadang dalam suatu hubungan yang sudah berlalu, ada hal-hal yang tidak bisa kita lupakan atau dalam artian kita tidak mampu untuk melupakan. Hal itu adalah hal yang wajar dan tidak perlu dipaksakan.
Tentang cinta yang perlu dikenang, cinta yang perlu dirawat rasanya, dan cinta yang perlu di kenang kebaikannya. Kita tidak perlu berpura-pura untuk lari dari semua itu. Bukankah melupakan kebaikan orang adalah suatu perbuatan yang kurang baik juga?
Selain itu, kutipan menarik lainnya dari penulis yaitu "Jangan terlalu memaksa. Bukan berarti tidak boleh berusaha. Tapi waktu kita terlalu singkat untuk sekadar merasa takut tidak mampu hidup tanpanya. Jangan bandingkan kita dengan mereka yang sudah punya segalanya. Jangan samakan kita dengan keajaiban-keajaiban di film. Perihal waktu dan usaha mendewasa, kita harus melaluinya."
Kutipan tersebut sangat sarat akan makna kehidupan, terlebih bagi yang sedang terjebak dalam fase quarter life crisis. Hidup memang tidak ada yang instan, semuanya perlu perjuangan dan pengorbanan. Terkadang untuk mencapai mimpi-mimpi yang kita inginkan kita harus mengorbankan banyak hal terlebih dahulu.
Berusaha adalah salah satu cara untuk mewujudkan mimpi itu, jika kita yakin dengan apa yang kita upayakan, semesta pun pasti mendukung apa yang kita mimpikan. Maka, berusaha dan berdoa adalah dua hal utama yang harus kita lakukan dalam perjalanan mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Meskipun buku ini ditulis dari sudut pandang seorang perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan ada beberapa bagian juga yang akan selaras dengan makna hidup semua orang termasuk laki-laki.
Penulis juga menyiratkan bahwa pengalaman-pengalaman di masa lalu lah yang membentuk diri kita yang sekarang. Kita tidak akan pernah bisa kembali secara sempurna seperti sedia kala. Kehidupan kita yang sekarang merupakan produk dari masa lalu yang haus kita lanjutkan.
Buku ini sangat cocok untuk kamu yang sedang merasakan kehilangan versi dirimua sendiri. Kunci utama dari penulis adalah bahwa kita harus tetap menjadi diri kita sendiri bagaimanapun kondisinya. Hanya diri kita sendiri yang bisa mengambil keputusan terbaik dalam hidup.
Ketika dunia sedang tidak berpihak padamu, tidak apa-apa. Ketika orang lain melapiaskan kemarahan, kekecewaan, mencelamu, bahkan meludahimu, anggap saja mereka sedang lelah dengan diri mereka sendiri. Kamu akan tetap bergahra ketika kamu bisa menghargai dirimu sendiri.