Novel Humaira & Alfarisi: Cinta yang Bertahan dalam Diam

Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Humaira & Alfarisi: Cinta yang Bertahan dalam Diam
Novel Humaira & Alfarisi (DocPribadi/Miranda)

Dalam hidup, ada cinta yang tumbuh dalam pelukan, ada pula cinta yang tumbuh dalam diam. Dan sering kali, cinta yang tidak diungkapkan adalah yang paling dalam, paling menderita, dan paling suci. Novel Humaira & Alfarisi karya Nurul Khaira Sabila adalah sebuah kisah tentang cinta semacam itu—cinta yang lahir dari persahabatan, tumbuh bersama kedekatan, lalu diuji oleh takdir dan pilihan hidup.

Diterbitkan oleh WahyuQolbu pada Maret 2018, novel ini menawarkan lebih dari sekadar romansa dua insan. Ia membawa pembaca menelusuri jalan spiritual, menyelami nilai-nilai kemanusiaan, dan merenungkan makna sejati dari cinta dan kehilangan. Dengan latar dunia medis dan konflik kemanusiaan di Palestina, kisah ini mempertemukan dua tokoh utama—Syila dan Arfan—dalam narasi yang tenang, dalam, namun menggugah.

Cinta yang Tak Pernah Benar-Benar Diungkap

Syila dan Arfan adalah sahabat sejati. Keduanya berprofesi di dunia medis dan telah lama saling mendampingi, saling menguatkan di tengah rutinitas dan beban pekerjaan yang berat. Namun, di balik keakraban itu, benih cinta perlahan tumbuh. Tak ada yang berani bicara. Tak ada yang mengaku. Mereka berdua terlalu takut untuk menghancurkan apa yang telah terbangun: kenyamanan sebagai sahabat.

Arfan, dihadapkan pada tuntutan keluarga dan keputusan yang tak sepenuhnya ia pilih sendiri, akhirnya memutuskan untuk menikah dengan wanita lain. Keputusan itu bukan hanya mengecewakan Syila, tetapi juga menghancurkan keyakinannya tentang arti kebersamaan yang selama ini ia jaga. Dalam luka yang belum sempat dijahit, Syila memilih pergi. Bukan ke tempat yang mudah, tapi ke medan paling berbahaya bagi seorang tenaga medis: Gaza, Palestina.

Gaza: Dari Luka Pribadi Menuju Luka Kemanusiaan

Pilihan Syila untuk menjadi relawan medis di Gaza bukan tanpa alasan. Selain pelarian dari rasa kecewa, Syila seperti menemukan makna baru tentang cinta dan pengorbanan di tanah penuh duka itu. Nurul Khaira Sabila dengan cermat menempatkan Gaza bukan sebagai latar semata, tetapi sebagai elemen naratif yang memperkuat perjalanan spiritual tokohnya.

Di Gaza, Syila menyaksikan kematian, kehilangan, dan penderitaan secara nyata. Namun di tengah reruntuhan dan dentuman bom, ia justru menemukan kekuatan batin yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Di tempat itulah, doanya untuk Arfan menjadi lebih jernih. Ia belajar bahwa cinta tidak harus memiliki. Cinta sejati, sebagaimana digambarkan dalam novel ini, adalah ketika kita mampu mendoakan seseorang yang mencintai orang lain, dengan tulus, tanpa dendam.

Gaya Bahasa yang Puitis dan Kontemplatif

Nurul Khaira Sabila menulis dengan gaya yang tenang, puitis, dan reflektif. Tidak ada letupan drama berlebihan. Ia membiarkan tokoh-tokohnya bergulat dengan suara batin mereka sendiri. Banyak bagian dalam novel ini yang terasa seperti potongan renungan atau catatan harian—halus, namun dalam. Bagi pembaca yang menikmati kisah dengan tempo lambat dan sarat makna, novel ini akan sangat memuaskan.

Dialog dalam novel ini pun tidak hanya menjadi penggerak cerita, tetapi juga sarana introspeksi. Ada banyak kutipan yang bisa dipetik, banyak nilai yang disisipkan secara halus: mulai dari kesabaran, keikhlasan, hingga tawakal kepada Allah. Tidak menggurui, tetapi menggugah hati.

Nilai Religius dan Akhlak yang Kuat

Salah satu kekuatan utama novel Humaira & Alfarisi terletak pada kedalaman nilai-nilainya. Nurul tidak hanya membangun konflik dan emosi, tetapi juga menanamkan pelajaran akhlak yang relevan dengan kehidupan. Penelitian literatur bahkan menunjukkan bahwa novel ini memuat nilai-nilai akhlak terhadap Allah—seperti iman, sabar, ikhlas, dan tawakal—serta akhlak terhadap sesama manusia, seperti kasih sayang, rendah hati, dan tanggung jawab.

Syila bukan tokoh sempurna. Ia adalah potret banyak perempuan yang pernah terluka, namun memilih bangkit bukan untuk membalas, tetapi untuk memberi. Arfan pun bukan tokoh antagonis. Ia hanya seorang lelaki yang kalah oleh realita, tetapi tetap menyimpan ketulusan dalam diam. Keduanya adalah cermin dari pergulatan banyak jiwa yang mencintai dalam keterbatasan.

Kesimpulan: Novel yang Menenangkan dan Menguatkan

Humaira & Alfarisi bukan kisah cinta biasa. Ia adalah kisah tentang bagaimana cinta dapat tumbuh dalam keheningan, lalu diuji dalam perpisahan, dan akhirnya menemukan bentuknya yang paling luhur dalam doa dan pengorbanan. Novel ini adalah pelukan hangat bagi mereka yang pernah mencintai dalam diam, yang pernah melepaskan karena tidak punya pilihan, dan yang tetap berdoa meski tak lagi berharap kembali.

Bacaan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menenangkan dan menguatkan. Ia memberi ruang untuk kita merenung, berdamai dengan masa lalu, dan mempercayai bahwa rencana Tuhan selalu lebih indah daripada apa pun yang kita impikan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak