Review Film The Sparrow in the Chimney: Bara Bergolak di Pesta Keluarga

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film The Sparrow in the Chimney: Bara Bergolak di Pesta Keluarga
Poster Film The Sparrow in the Chimney (IMDb)

Ada banyak cara untuk membuat penonton merasa nggak nyaman. Film horor biasanya mengandalkan jumpscare, thriller psikologis mengandalkan ketegangan yang nggak pernah reda, sedangkan drama keluarga biasanya membuat kita ‘nggak nyaman’ lewat pertengkaran, air mata, dan luka lama yang dibuka lagi. 

Nah, Film The Sparrow in the Chimney yang pertama kali tayang 8 Agustus 2024 di Locarno Film Festival, seperti menggabungkan tiga andalan itu, tapi dengan cita rasa arthouse khas Eropa yang tenang di luar tapi panas membara di dalam.

Film ini besutan Sutradara Ramon Zürcher, yang kali ini merangkap sebagai penulis naskah sekaligus editor. Dia dibantu kakaknya, Silvan Zürcher, sebagai produser. Keduanya memang punya reputasi membedah dinamika keluarga yang kompleks, lewat dua film sebelumnya, ‘The Strange Kitten’ dan ‘The Girl and the Spider’. 

Menarik memang, lebih menarik lagi bila menilik para bintang yang terlibat, di antaranya:

  • Maren Eggert sebagai Karen, kakak perempuan yang menjadi pusat cerita
  • Britta Hammelstein sebagai Julie, sang adik yang terlihat ceria tapi menyimpan trauma
  • Luise Heyer sebagai Liv, perempuan misterius yang tinggal di pondok kecil di lahan keluarga
  • Andreas Döhler sebagai Markus, suami Karen
  • Milian Zerzawy sebagai Jurek, suami Julie
  • Lea Zoë Voss sebagai Johanna, anak remaja Karen yang sinis dan provokatif

Lalu, bagaimana dengan kisahnya? Sini deh kepoin bareng!

Sinopsis Film The Sparrow in the Chimney

Scene Film The Sparrow in the Chimney (IMDb)
Scene Film The Sparrow in the Chimney (IMDb)

Cerita dimulai dengan persiapan ulang tahun Markus. Karen dan Markus tinggal di rumah besar peninggalan orangtua Karen, yang sudah agak lapuk tapi tetap terlihat wah gitu ya. 

Hari itu, keluarga besar akan berkumpul. Ada Julie dan keluarganya datang dari luar kota, anak-anak yang pulang sekolah, dan bahkan Liv, perempuan muda yang tinggal di pondok di lahan mereka, ikut terlibat.

Seiring berjalannya durasi, kita akan dibuat paham kalau pertemuan itu bukan sebatas pesta ulang tahun. Semua orang membawa luka lama, dendam, atau rahasia yang mereka simpan rapat. 

Karen tampak sering melamun, berbicara dengan nada lirih seakan-akan selalu berada di dunia lain. Julie tampak ceria, tapi itu hanya topeng.

Beban di pundak anak-anak pun nggak kalah kompleks Johanna dengan sindiran tajamnya, Leon dengan kebiasaan memasak tapi nggak suka makan, Christina yang datang terlambat dan tampak membawa masalahnya sendiri.

Di tengah ketegangan itu, ada momen-momen ganjil yang makin lama bikin nggak nyaman. Misalnya, Johanna yang menceritakan kisah mengerikan tentang ‘saudara kembar mati’ di perut Christina, atau adegan Leon memasukkan piring logam ke dalam microwave untuk melihat percikan api.

Lalu, ada pula tetangga bernama Konrad yang membantu memotong ayam peliharaan, yang memunculkan salah satu adegan paling disturbing di awal film. Semua itu mengarah pada satu benang merah, yakni ‘seekor burung pipit yang terjebak di cerobong’, metafora dari keinginan para karakter untuk melarikan diri dari “rumah” yang menahan mereka.

Apakah keinginan mereka terwujud? Kepoin lagi, yuk!

Review Film The Sparrow in the Chimney

Nonton Film The Sparrow in the Chimney tuh lumayan butuh effort. Karakter-karakternya … ah, ini bagian yang bikin campur aduk. 

Di satu sisi, mereka unik dan penuh warna, tapi di sisi lain, banyak dialog yang terasa artifisial. Seperti Johanna, yang seakan-akan selalu punya satu kalimat mematikan untuk setiap percakapan, tapi seringkali terdengar seperti sedang membaca skrip film, bukan berbicara sebagai remaja yang terluka. Akibatnya, aku sulit benar-benar percaya kalau para karakter sebagai manusia utuh. Ya, mereka lebih terasa seperti tokoh dalam eksperimen sosial.

Visualnya memang memanjakan mata. Ada komposisi simetris, pencahayaan natural yang membuat setiap adegan terasa meyakinkan, dan beberapa momen surealis yang begitu kuat sehingga sulit dihapus dari ingatan. 

Yang paling sulit aku terima terkait sikap film ini terhadap kekerasan, terutama pada hewan. Aku paham itu cuma gambaran; burung di cerobong, ayam yang disembelih, bahkan serangga yang diperlihatkan. Namun, ketika karakter-karakternya bereaksi dengan dingin, tanpa rasa kaget atau sedih, aku nggak merasa itu membantu atau berhasil membangun ceritanya. 

Pada akhirnya aku merasa emosinya hampa, seperti rumah indah yang dindingnya kosong. Buat yang mau nonton, tontonlah! Siapa tahu ada banyak hal yang kamu temukan. Selamat nonton, ya.

Skor: 2,5/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak