Review Film There's Still Tomorrow: Drama Emansipasi yang Bikin Getir

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film There's Still Tomorrow: Drama Emansipasi yang Bikin Getir
Poster Film There’s Still Tomorrow (IMDb)

Perasaan hangat bercampur getir itu mencuat ketika nonton ‘There’s Still Tomorrow’ (C’è Ancora Domani) yang (pernah) tayang di KlikFilm pada November 2024.

'There's Still Tomorrow' merupakan debut penyutradaraan Paola Cortellesi yang juga merangkap sebagai penulis skenario dan pemeran utama.

Film ini bak datang dari masa lalu yang dibalut dengan pakaian baru lho. Maksudnya, klasik tapi pede menyelipkan kejutan-kejutan modern yang menggelitik. 

Diproduksi Wildside dan Vision Distribution, ‘There’s Still Tomorrow’ skenarionya juga kolab sama Furio Andreotti dan Giulia Calenda, dengan menyajikan drama-komedi hitam putih, yang ngajak Sobat Yoursay menyelami Roma pasca-Perang Dunia II melalui sudut pandang ibu rumah tangga hidup dalam tekanan patriarki dan ketidakadilan sosial dari segala arah.

Penasaran dengan detail kisahnya? Sini kepoin bareng!

Sekilas tentang Film There’s Still Tomorrow

Betewe, film ini perdana tayang di Rome Film Festival 2023 dan meraih kemenangan di beberapa nominasi: Special Jury Prize, Audience Award, dan Spesial Montion. 

Kisahnya tentang Delia (Paola Cortellesi) tinggal di sebuah (ruangan) bawah tanah yang pengap bersama suaminya yang keras, Ivano (Valerio Mastandrea), ayah mertuanya yang cerewet, Ottorino (Giorgio Colangeli), dan ketiga anak mereka. 

Delia tuh nggak cuma tulang punggung keluarga secara emosional, tapi juga secara finansial. Dia bekerja serabutan, menjual pakaiannya sendiri, dan terus-menerus mengorbankan kebahagiaannya demi kesejahteraan keluarga.

Namun titik balik datang lewat sebuah surat misterius. Isinya nggak langsung dijelaskan, tapi perlahan Sobat Yoursay akan melihat perubahan dalam diri Delia. 

Delia mulai mempertanyakan masa depan putri sulungnya, Marcella (Romana Maggiora Vergano), yang berencana menikah dengan pria dari keluarga terpandang. Dia juga mulai meragukan status quo yang selama ini diterimanya sebagai sesuatu yang nggak bisa diubah. Bersama sahabatnya, Marisa (Emanuela Fanelli), Delia mulai belajar untuk jadi pribadi yang berani yang selama ini padam.

Menarik ya? Sini simak terus buat yang kepo sama pengalamannya nonton film ini!

Impresi Selepas Nonton Film There’s Still Tomorrow

Dari menit pertama, aku langsung tenggelam dalam suasana visual film ini. Gambar hitam putihnya nggak sekadar gimmick, melainkan pilihan estetik yang menghidupkan kembali semangat Italian neorealism era 1940–an: realita yang keras, rumah sempit, hiruk pikuk pasar, dan wajah-wajah lelah yang terasa dekat. 

Namun kemudian, di tengah kesetiaan visual itu, terdengar musik blues Amerika yang jadi latar musik, lalu tiba-tiba, di momen yang sangat emosional, terdengar lagu OutKast dari Bombs Over Baghdad. Di sinilah aku bingung, tapi juga tertarik. 

Cortellesi kayak lagi memainkan puzzle (potongan-potongan modern dimasukkan ke dalam cerita klasik). Kadang berhasil menyulut tawa, kadang terasa janggal dan membuatku lepas koneksi dari kisah yang disuguhkan. 

Misalnya, adegan koreografi tarian saat Ivano melakukan kekerasan pada Delia. Niatnya jelas untuk menciptakan metafora, tapi dalam eksekusinya terasa seperti mereduksi kekerasan jadi pertunjukan teatrikal yang menghibur, padahal seharusnya mengguncang batin. Duh!

Terlepas dari itu, ada momen-momen kecil yang Kusuka. Misalnya saat Delia menyiapkan makan siang untuk keluarga calon besan, dengan ketegangan yang nggak kalah bikin dag-dig-dug. Karena bikin bertanya-tanya: Apakah makanannya cukup mewah? Apakah keluarganya bisa menjaga sopan santun? Apakah sang mertua akan muncul dan mempermalukan semuanya? Di sini, semua elemen film menyatu harmonis: humor, drama, kelas sosial, dan beban gender begitu menarik disuguhkan. 

Bisa kubilang, Paola Cortellesi brilian. Ini tuh bukan sekadar proyek ego dari aktris yang ingin menyutradarai, tapi ini film yang lahir dari pemahaman mendalam tentang peran perempuan dalam sejarah dan sinema. 

Sang sutradara menampilkan Delia bukan sebagai sosok heroik yang tiba-tiba jadi kuat, tapi sebagai perempuan biasa yang perlahan bangkit melalui proses yang sangat manusiawi. Melalui obrolan dengan sahabat, tatapan kosong di meja makan, atau sesekali berani berkata, “Nggak!”

Valerio Mastandrea sebagai Ivano tuh tampil menjengkelkan dengan porsi yang pas. Figurnya nyata, yang mewakili sistem patriarki yang sudah mendarah daging dan dianggap normal. 

Oke deh. ‘There’s Still Tomorrow’ jelas film yang mencoba merangkul banyak hal. Nostalgia sinema masa lalu, semangat emansipasi perempuan, kritik sosial, hingga humor. Beberapa percobaannya mungkin terasa nggak konsisten atau terlalu eksperimental, tapi secara keseluruhan, film ini meninggalkan kesan kuat meski nggak sempurna. 

Buatku, ini adalah film tentang suara yang perlahan muncul dari dalam diri seorang perempuan yang terlalu lama dibungkam. Dan meski kadang nada suara itu fals atau gugup, tetap layak didengar. 

Skor: 3,4/5

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak