Yang Doyan Musik Sini Kumpul! Reunian Bermusik dalam Film Blur - To the End

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Yang Doyan Musik Sini Kumpul! Reunian Bermusik dalam Film Blur - To the End
Poster Film Blur - To the End (IMDb)

Bertemu lagi dengan kawan-kawan lama yang dulu menaklukkan dunia musik bersama, bukan sebatas temu kangen doang, tapi berkarya lagi. Kedengarannya familier, ya? Yap, itulah kenyataan dalam film dokumenter Blur - To the End, buatan Sutradara Toby L. yang menangkap proses kembalinya salah satu band Britpop paling ikonik sepanjang masa.

Wah, menarik! Sobat Yoursay penasaran bagaimana kisah mereka? Sini deh kepoin bareng!

Sekilas tentang Film Blur - To the End

Film yang tayang perdana di Sheffield DocFest pada Juni 14 Juni 2024 Memperlihatkan anggota Band Blur; Damon Albarn, Graham Coxon, Alex James, dan Dave Rowntree. Mereka bukan lagi anak muda flamboyan dengan semangat revolusioner. Sekarang, mereka tuh pria-pria paruh baya, dengan tubuh yang nggak seprima dulu, dan emosi yang lebih matang tapi juga rapuh. Rasanya tuh beruntung banget masih bisa nostalgia bareng. 

Saat mereka berkumpul kembali untuk merekam kembali The Ballad of Darren (2023), album pertama mereka dalam delapan tahun, serta mempersiapkan konser besar di Wembley, yang pertama kalinya bagi mereka, kita pun disuguhkan potret emosional tentang pencarian kembali makna dan suara mereka. 

Perjalanan musik mereka sangat menginspirasi deh. Lalu, bagaimana dengan performa film ini? Yuk, kupas tuntas!

Impresi Selepas Nonton Film Blur - To the End 

Berbeda dengan dokumenter musik kebanyakan yang biasanya memutar ulang masa keemasan band dari awal hingga puncak lalu kehancurannya, ‘To the End’ malah nggak tertarik pada kilas balik simpel macam itu. Alih-alih menyusun kronologi karier Blur dari masa remaja hingga jadi headline di Glastonbury, film ini justru menaruh fokus pada siapa mereka sekarang. Dan jujur saja, itu membuatnya terasa lebih intim dan relevan.

Satu momen yang sangat membekas adalah ketika Graham Coxon, sang gitaris, berkata: “It’s a bit like drawing up from a well … you’re drawing you from then back up now.” Paham maknanya? Ya, Ini bukan cuma soal musik, tapi soal menggali ulang siapa diri mereka, di antara kenangan, luka, dan hasrat yang belum padam.

Nggak bisa dipungkiri, ada bayang-bayang konflik masa lalu. Blur bukan band yang harmonis sepanjang waktu. Ego, tekanan industri, dan perbedaan arah sempat membuat mereka renggang. Namun memang, dalam dokumenter ini, konflik bukanlah inti cerita, melainkan bayang-bayang yang menyuguhkan kedalaman cerita. 

Lihat saja bagaimana mereka kadang berbicara tentang "persaudaraan dalam band" atau menyamakan ikatan mereka dengan pernikahan. Klise? Mungkin. 

Di sela konser, ada cuplikan wawancara dengan musisi lain yang berbicara soal ketimpangan rasial dan sosial di Inggris. Jika dulu komentar politik Damon dianggap sinis atau nyinyir, kini terdengar jauh lebih presisi dan tajam lho. 

Lalu datanglah pertunjukan di Wembley, puncak dari perjalanan mereka dalam film ini. Ini tuh bukan sebatas klimaks musikal, tapi juga klimaks emosional. Ketika lagu-lagu lawas kembali bergema, aku dibuat cukup tersentuh. 

Nggak kalah menyentuh, latar personal para anggotanya juga memengaruhi nuansa film. Albarn, misalnya, baru saja berpisah dengan pasangannya selama 25 tahun, Suzi Winstanley. Ada kesedihan yang mengendap dalam setiap lagu yang dia nyanyikan dan setiap catatan yang dia mainkan. Dan di situlah film ini benar-benar menyentuh. 

Pada akhirnya, buat generasi yang tumbuh bersama ‘mereka’, dokumenter ini jelas nostalgia yang menenangkan. Namun, buat generasi baru yang bahkan belum lahir saat Blur berjaya, ini adalah pelajaran tentang kejujuran, perubahan, dan bagaimana musik bisa jadi pengikat lintas usia dan zaman.

Skor: 3,5/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak