Menghidupkan Kembali Kenangan Ibu Lewat Makanan dalam Buku Crying in H Mart

Ayu Nabila | aisyah khurin
Menghidupkan Kembali Kenangan Ibu Lewat Makanan dalam Buku Crying in H Mart
Buku Crying In H Mart (goodreads.com)

"Crying in H Mart" adalah memoar menyentuh dan jujur karya Michelle Zauner, vokalis utama dari proyek musik indie Japanese Breakfast.

Dalam buku ini, Zauner menyampaikan kisah kehilangan, identitas budaya, dan hubungan ibu-anak yang kompleks, dengan latar belakang kehidupan sebagai anak perempuan keturunan Korea-Amerika.

Memoar ini berhasil menyentuh hati banyak pembaca karena kedalaman emosinya yang tulus dan cara penyampaiannya yang sederhana namun kuat.

Judul buku ini merujuk pada pengalaman Zauner yang kerap menangis di H Mart, sebuah jaringan supermarket Asia di Amerika, yang mengingatkan dia pada mendiang ibunya dan semua kenangan yang mereka bagi, terutama melalui makanan Korea.

H Mart menjadi simbol dari kerinduan dan keterikatan pada warisan budaya ibunya yang terus hidup dalam dirinya, bahkan setelah kepergiannya.

Memoar ini dibuka dengan peristiwa paling menyayat hati dalam hidup Zauner, yaitu kematian ibunya akibat kanker pada tahun 2014. Namun, buku ini tidak hanya berkutat pada kesedihan.

Sebaliknya, Zauner menelusuri kembali masa kecil, masa remaja, dan awal dewasa yang membentuk hubungannya dengan sang ibu dan identitasnya sebagai perempuan Asia-Amerika.

Zauner dibesarkan di Eugene, Oregon, oleh ibu Korea dan ayah Amerika. Dari kecil, ia merasa "tidak cukup Korea" karena tumbuh di lingkungan mayoritas kulit putih dan tidak fasih berbahasa Korea.

Hubungannya dengan sang ibu pun sering diwarnai ketegangan, terutama saat ia mulai mengejar karier sebagai musisi yang tak sesuai dengan harapan ibunya akan stabilitas dan kesuksesan konvensional.

Namun, ketika ibunya didiagnosis kanker, segala jarak dan perbedaan itu perlahan memudar. Michelle kembali ke rumah untuk merawat ibunya, dan dalam proses itu, ia mulai memahami ibunya lebih dalam. Salah satu cara utama mereka menjalin kembali hubungan adalah melalui makanan.

Makanan Korea menjadi jembatan emosional, budaya, dan spiritual antara mereka. Dari memasak sup rumput laut hingga berbelanja bahan makanan bersama, makanan menjadi bentuk cinta dan bahasa komunikasi yang paling kuat.

Setelah ibunya meninggal, Zauner berjuang untuk memelihara warisan Korea yang tersisa dalam dirinya. Ia mulai belajar memasak makanan Korea sendiri, mengenang momen-momen kecil yang sebelumnya tampak remeh, dan menata kembali identitas dirinya sebagai bagian dari dua dunia, barat dan timur, kehilangan dan pertumbuhan.

Zauner menggambarkan secara mendalam betapa sulitnya menjadi anak dari dua budaya yang sangat berbeda. Ketika ibunya masih hidup, ia sering merasa tidak cukup “Korea” dan terasing dari bagian penting dalam dirinya.

Namun, setelah kepergian ibunya, rasa kehilangan itu justru membangkitkan semangat untuk menyatu kembali dengan akarnya. Memoar ini adalah kisah tentang bagaimana seseorang belajar mencintai bagian dari dirinya yang sebelumnya ia abaikan.

Dalam buku ini, makanan bukan sekadar konsumsi, melainkan ekspresi cinta, pengobat luka, dan simbol warisan budaya. Hubungan Zauner dengan makanan Korea menjadi semakin dalam setelah kematian ibunya, dan setiap hidangan yang ia pelajari untuk dimasak adalah bentuk penghormatan kepada sang ibu.

Zauner tidak menghindari perasaan-perasaan rumit dalam berduka seperti, kemarahan, penyesalan, kesepian, bahkan rasa bersalah. Ia menulis tentang proses kehilangan dengan kejujuran yang mentah, dan justru dari ketulusan itu muncul kekuatan dan keindahan. Ia menunjukkan bahwa duka tidak selalu linier, dan tidak pernah benar-benar selesai.

Memoar ini juga menjadi refleksi mendalam tentang hubungan antara ibu dan anak perempuan yang sering penuh dinamika, kasih sayang, konflik, ekspektasi, dan kedekatan emosional yang sulit dijelaskan. Melalui tulisan Zauner, kita melihat bahwa hubungan itu mungkin tidak selalu sempurna, tetapi tetap membentuk siapa kita sesungguhnya.

Gaya penulisan Michelle Zauner sangat puitis, jujur, dan penuh nuansa. Ia tidak menutupi kelemahannya sendiri dan menampilkan kisah hidupnya dengan kerentanan yang membuat pembaca merasa dekat. Deskripsinya tentang makanan, emosi, dan kenangan sangat hidup, seolah pembaca bisa mencicipi rasa dan merasakan luka yang ia alami.

Bahasa yang ia gunakan lugas namun emosional. Ia tahu kapan harus berbicara dengan lembut dan kapan harus membiarkan kesedihan meledak. Hal ini membuat "Crying in H Mart" terasa sangat manusiawi dan tidak dibuat-buat, tidak dilebih-lebihkan, melainkan datang dari hati.

"Crying in H Mart" adalah memoar yang menyentuh, autentik, dan penuh cinta. Ini bukan hanya kisah tentang kehilangan seorang ibu, tetapi juga tentang pencarian jati diri, rekonsiliasi dengan warisan budaya, dan perjuangan untuk tetap terhubung dengan masa lalu dalam bentuk yang baru. Michelle Zauner mengajak kita untuk tidak takut merasakan kesedihan, karena dari situlah kita belajar mencintai dan mengenal diri kita yang sebenarnya.

Identitas Buku

Judul: Crying in H Mart

Penulis: Michelle Zauner

Penerbit: Knopf

Tanggal Terbit: 20 April 2021

Tebal: 243 Halaman

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak