Dulu, nenek moyang kita hanya butuh langit, daun kelor, dan insting untuk memprediksi musim. Tapi sekarang, kita punya satelit, superkomputer, dan segudang ahli klimatologi. Ironisnya, semakin canggih teknologi, semakin sering kita mendengar kalimat, “Lho kok masih hujan, katanya kemarau?”
Selamat datang di zaman kemarau basah—sebuah oksimoron meteorologis yang sukses membuat para petani menggaruk kepala sambil menatap lahan yang berubah jadi kolam. Mulai Mei 2025, menurut Bayu Dwi Apri Nugroho dari UGM, Indonesia resmi memasuki masa kemarau. Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru ganti sandal jepit dengan sepatu boot. Karena kenyataannya, hujan turun dengan percaya diri, menggenangi sawah, merendam harapan.
Maka dari itu, mari kita bahas bagaimana anomali ini tak hanya membingungkan alat-alat cuaca dan peramal BMKG, tapi juga memporakporandakan kalender tanam, merusak panen, dan—seperti biasa—membiarkan petani menjadi korban tetap dari drama iklim global.
Kemarau yang Bikin Basah: Ketika Langit Lupa Janji
Musim kemarau biasanya identik dengan rumput mengering, tanah retak, dan warga saling berebut air sumur. Tapi di 2025 ini, pemandangan tersebut malah seperti adegan throwback di media sosial. Yang ada justru jalanan becek, banjir lokal, dan longsor kecil yang diam-diam menghantui desa-desa lereng bukit.
Bayu Dwi Apri Nugroho dari UGM menjelaskan bahwa kemarau basah terjadi ketika musim kemarau telah masuk secara teknis (berdasarkan pola angin dan suhu muka laut), namun curah hujan tetap tinggi akibat pengaruh La Niña dan dinamika atmosfer yang kompleks. Dengan kata lain, langit punya logika sendiri—dan kadang ngambek seperti mantan yang tidak mau diajak balikan meski sudah hujan-hujanan.
Data BMKG menyebutkan bahwa kemarau basah ini kemungkinan akan berlangsung hingga Oktober 2025. Itu artinya, sekitar lima bulan petani akan hidup dalam ketidakpastian. Tidak ada yang bisa menjamin apakah lahan siap tanam akan tetap kering esok harinya, atau justru berubah menjadi kolam lele dadakan.
Fenomena ini bukan hanya kebingungan cuaca. Ini adalah pertarungan antara prediksi dan realita, antara harapan panen dan kenyataan banjir. Kemarau basah bukan cuma anomali, tapi juga simbol bahwa kita belum siap menghadapi perubahan iklim yang tak menentu. Dan seperti biasa, petani jadi korban utama, meski mereka bukan yang mengemisi karbon.
Salah Tanam, Salah Musim, Salah Siapa?
Coba tanya petani di Brebes yang menanam bawang merah di bulan Juni 2025. Mereka yakin kemarau sudah datang. Tapi ternyata, yang datang justru hujan deras berturut-turut selama dua minggu. Akibatnya? Bukan cuma tanaman yang rusak, tapi juga modal yang hanyut bersama air hujan.
Masalahnya, petani bukan peramal. Mereka bukan Elon Musk yang bisa bikin satelit cuaca sendiri. Mereka mengandalkan informasi dari media lokal, warung kopi, dan tentu saja prediksi BMKG. Tapi jika prediksi itu meleset, petani bukan hanya rugi waktu, tapi juga rugi uang, tenaga, bahkan kepercayaan.
Menurut Sumner et al. (2025), kemarau basah dapat menyebabkan kegagalan tanam, peningkatan lahan yang ditinggalkan, dan penurunan luas panen hingga 25% pada jagung dan 20% pada kedelai. Itu angka yang tidak main-main. Bayangkan jika itu terjadi secara nasional—bukan cuma harga cabai yang naik, tapi juga risiko ketahanan pangan nasional.
Sialnya, bantuan dari pemerintah biasanya datang terlambat. Seperti sinyal Wi-Fi di desa terpencil: baru datang saat sudah tidak dibutuhkan lagi. Ini menambah beban petani yang harus menanggung risiko iklim, biaya produksi, dan harga pasar yang tidak bersahabat.
Lucunya, di saat petani kesulitan menyesuaikan jadwal tanam, iklan pupuk justru tetap optimis dengan slogan: “Panen melimpah, untung melesat!” Mungkin iklan itu disusun oleh orang yang belum pernah main lumpur di sawah.
Bencana di Tengah Kemarau: Ironi Bernama Hidrometeorologi
Kita terbiasa berpikir bahwa banjir dan longsor adalah masalah musim hujan. Tapi kemarau basah membalik semua logika itu. Di saat kita mengira hujan sudah pamit, justru datang dengan membawa banjir bandang di daerah pegunungan dan longsor di lereng-lereng sawah.
BMKG memperingatkan bahwa musim kemarau 2025 justru memiliki risiko hidrometeorologis tinggi. Kenapa? Karena tanah yang seharusnya kering malah jenuh air, dan vegetasi yang belum siap menghadapi hujan deras jadi rapuh. Akibatnya, bencana datang tanpa undangan seperti tamu kondangan yang tidak bawa amplop.
Ini menambah lapisan kesulitan bagi petani. Mereka tidak hanya harus mengurus jadwal tanam, tapi juga siap menghadapi bencana alam yang bisa datang sewaktu-waktu. Lahan jadi rusak, saluran irigasi tersumbat, dan rumah warga tergenang air. Sementara itu, pemerintah sibuk rapat darurat sambil mencari dana bantuan.
Ironisnya, anggaran mitigasi bencana seringkali terserap di level atas, untuk seminar, spanduk, dan honorarium pejabat. Padahal di lapangan, yang dibutuhkan adalah alat deteksi longsor murah, edukasi darurat, dan perbaikan drainase.
Masalah ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim bukan soal cuaca semata, tapi soal keadilan. Karena ketika banjir datang di musim kemarau, yang kebanjiran bukanlah kota-kota besar, tapi desa-desa kecil yang tidak masuk berita.
Papua Menari di Tengah Hujan: Ketika Timur Justru Dapat Berkah
Tapi tidak semua kabar tentang kemarau basah berisi duka. Di wilayah timur Indonesia—seperti Papua dan NTT—kemarau basah justru membawa berkah. Daerah-daerah ini biasanya mengalami kekeringan kronis, dengan tanah yang retak dan sumur yang nyaris kering. Tapi kali ini, langit tersenyum kepada mereka.
Petani di Papua melaporkan bahwa curah hujan tambahan membantu tanaman tumbuh subur. Ladang jagung, umbi-umbian, dan bahkan sawah tadah hujan menunjukkan hasil lebih baik. Ini seperti karma baik bagi daerah yang selama ini hanya kebagian janji pembangunan.
Kemarau basah memperlihatkan bahwa dalam setiap krisis, selalu ada celah peluang. Tapi tentu saja, peluang itu hanya bisa dimanfaatkan jika ada kesiapan infrastruktur, akses informasi, dan sistem pertanian yang adaptif. Di banyak wilayah timur Indonesia, inisiatif komunitas dan kerja sama lokal menjadi kunci keberhasilan.
Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman ini. Jangan hanya sibuk merespons bencana di Jawa, tapi juga mulai investasi serius di wilayah timur. Karena di sana, hujan bukan masalah—tapi harapan.
Dari Ramalan Cuaca ke Kedaulatan Iklim
Kemarau basah adalah pengingat keras bahwa cuaca tidak lagi bisa dikotakkan dalam kalender. Ia menjadi liar, tidak menentu, dan sangat bergantung pada dinamika global yang rumit. Dan seperti biasa, petani menjadi kelompok yang paling terdampak, paling rentan, dan paling jarang dilibatkan dalam perencanaan.
Maka solusi tidak bisa hanya bertumpu pada prediksi cuaca yang akurat. Harus ada sistem edukasi iklim yang menyentuh hingga tingkat desa. Harus ada pelatihan tentang pola tanam adaptif, pemantauan kelembapan tanah, dan akses real-time terhadap data cuaca. Zhou et al. (2020) menyarankan pentingnya penyesuaian waktu tanam berdasarkan kelembapan tanah untuk memitigasi risiko.
Lebih dari itu, kita butuh paradigma baru: kedaulatan iklim. Sebuah konsep di mana petani punya kendali atas informasi, teknologi, dan strategi menghadapi cuaca. Jangan sampai mereka terus-terusan jadi penumpang dalam perjalanan iklim yang gila ini.
Dan tolong, jangan lagi ada pernyataan seperti, “Cuaca memang tak bisa diprediksi.” Karena jika itu benar, lantas apa gunanya satelit, riset, dan dana milyaran untuk lembaga-lembaga meteorologi?