Tak ada yang benar-benar memilih lahir di sisi mana. Kemiskinan dan kekayaan sering disebut takdir, seolah-olah Tuhan melempar dadu, lalu manusia diminta pasrah pada angka yang jatuh. Di antara keduanya, dunia berharap tumbuh kasih. Namun, yang sering muncul justru jurang yang makin dalam dan makin dingin.
Bunga mengenal jurang itu sejak lama. Dia janda lima puluh satu tahun dari Desa Sarang Manis. Rumahnya berdinding bambu yang berderik tiap disentuh angin. Tanahnya dingin, atapnya rendah, hidupnya sempit. Rambutnya memutih lebih cepat dari usianya. Tangannya kasar, bukan dikarenakan usia semata, tapi juga karena hari-hari yang menuntutnya terus kuat.
Dia punya tiga anak. Tiga napas yang bergantung penuh padanya. Tiga dunia kecil dengan cara memahami hidup yang berbeda.
Saat surat pemutusan kerja itu tiba, Bunga tidak menangis. Dia hanya duduk lama, menatap kertas tipis yang terasa jauh lebih berat dari tubuhnya sendiri. Alasan perusahaan sederhana, usia. Kata yang terdengar sopan, tapi teramat menghujam hati.
Hari pertama, dapur masih mengepul. Hari kedua, piring masih terisi. Hari-hari setelahnya, waktu berjalan lebih lambat.
Anak sulungnya jatuh sakit. Dua lainnya mulai gelisah dan meminta jajan, sesuatu yang tak bisa dia beri. Bukan karena mereka rakus, melainkan karena dunia di kepala mereka bekerja dengan cara yang berbeda.
Bunga mengelus rambut mereka satu per satu, menjelaskan dengan suara paling lembut yang dia mampu. Tetap saja, tangis itu datang, pelan tapi terus-menerus, seperti tetesan air yang menggerogoti batu.
Kadang tetangga mengirim makanan. Sepiring. Dua piring. Bunga selalu berterima kasih. Namun dia tahu, kebaikan tak pernah bisa dijadwalkan.
Malam-malam berikutnya, Bunga sering terjaga. Menghitung hari. Bukan berapa lama dia bisa bertahan, melainkan berapa lama anak-anaknya bisa hidup. Di saat itulah tebersit ide. Ide yang datang seperti bisikan memalukan, tapi perlu.
Pagi itu, Bunga pergi ke ladang singkong di pinggir sungai. Tanah masih basah. Udara lembap. Dia pulang membawa sekarung singkong. Siang itu mereka makan bersama. Untuk sesaat, rumah bambu itu dipenuhi tawa kecil. Bunga ikut tersenyum, meski dadanya terasa sesak. Tangannya gemetar saat membereskan sisa makan. Matanya basah, tapi dia menahannya.
Menjelang sore, pintu diketuk. Bunga tahu saat itu adalah jam akhirnya. Dia memeluk ketiga anaknya erat-erat, seolah-olah ingin menyimpan berat tubuh mereka di dadanya.
“Emak sayang kalian,” bisiknya. Lalu pada anak sulungnya, dengan suara yang hampir patah, “Emak pasti kembali.”
Bunga melangkah ke pintu. Berhenti sejenak. Menghela napas. Saat pintu dibuka, Bunga menunduk dan mengulurkan tangan pada pemuda berhidung pesek. Pemuda itu polisi dan tanpa empati pun banyak omong, mengunci dua pergelangan tangan Bunga. Borgol dingin telah melingkar di pergelangan tangan Bunga. Orang-orang berdatangan. Rumah bambu itu mendadak sesak. Dari kerumunan, seorang lelaki maju perlahan, mantan suaminya. Tatapannya jatuh pada Bunga, lalu berpindah ke anak-anak itu.
Hak asuh kini berpindah tangan setelah Bunga mencuri singkong di ladang yang dulu miliknya, sebelum beralih kepemilikan pada sang mantan.
“Jaga mereka baik-baik,” pinta Bunga lirih.
Lelaki itu mengangguk. Sebenarnya dia tak tega melihat Bunga dipenjara. Namun istri barunya, diliputi cemburu dan dendam, bersikeras melaporkan perbuatan itu.
Saat Bunga digiring pergi, Bunga tersenyum kecil, merasa idenya berhasil, dan merasa akhirnya dia bisa menyerah tanpa meninggalkan anak-anak dalam kelaparan. Dan Bunga memilih itu. Karena bagi seorang ibu, lebih baik hancur sendirian daripada melihat anak-anaknya perlahan mati.