Kokokan Mencari Arumbawangi karya Cynta Hariadi menjadi salah satu novel terbitan Gramedia Pustaka Utama yang paling sering direkomendasikan oleh para book lovers. Bagaimana tidak. Novel ini menggabungkan unsur dongeng, magical realism, dan kearifan lokal yang diramu dengan pas sekaligus menyentuh sisi emosional pembaca.
Novel ini mengisahkan hidup wanita bernama Nanamama dan dua anaknya yang bernama Kakaputu dan Arumbawangi. Pada awalnya, Nanamama dan Kakaputu tinggal hanya berdua saja. Aktivitas keseharian mereka adalah sibuk berkebun dan mengolah sawah. Hingga suatu hari, keajaiban muncul di depan mereka. Segerombol burung kokokan terbang melintasi sawah yang sedang digarap Nanamama. Salah satu di antaranya membawa bondol kain yang membungkus tubuh seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Arumbawangi.
Tumbuh dengan ejekan dan pandangan buruk dari penduduk desa, Arumbawangi tetap menjadi kesayangan Nanamama dan Kakaputu. Setiap harinya mereka selalu bekerja dan bermain di sawah. Hingga pada suatu ketika, Arumbawangi dan Kakaputu menemukan sebuah hotel terbengkalai di pinggir desa. Hotel itu menyimpan banyak kenangan tidak mengenakan, terutama untuk Nanamama karena ia menganggap bangunan tersebut akan mengancam kelestarian lingkungan di desa.
Di novel ini, ada satu isu yang paling menarik perhatian, yaitu relasi antara tokoh perempuan dengan lingkungan alamnya. Sementara itu, studi sastra pun turut mempelajari fenomena tersebut yang kemudian dikenal sebagai ekofeminisme. Secara singkat, ekofeminisme berusaha mengkaji bentuk perjuangan perempuan yang dikaitkan dengan isu-isu lingkungan serta menyoroti bahwa fenomena tersebut masih berkaitan erat dengan sistem patriarki dan dominasi terhadap perempuan.
Dalam novel Kokokan Mencari Arumbawangi, relasi tokoh perempuan dengan lingkungan terlihat dari kedua tokoh utama, yaitu Nanamama dan Arumbawangi. Keduanya memanfaatkan alam perdesaan untuk menunjang kebutuhan hidup lewat pertanian dan perkebunan. Nanamama bahkan memberi pengajaran pada Kakaputu dan Arumbawangi untuk menghargai alam dan mengerjakan pertanian dengan metode kearifan lokal agar kelestarian lingkungan tetap terjaga.
Bagi Nanamama, alam tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Lebih dari itu, alam merupakan sumber pendukung spiritualitasnya. Novel yang berlatarkan kebudayaan Bali ini turut menggambarkan bagaimana tokoh-tokoh memanfaatkan kekayaan alam sebagai media untuk beribadah. Misalnya ketika Nanamama hendak beribadah, ia memanfaatkan janur kuning untuk membuat ceper yang digunakan sebagai wadah sesajen. Begitu pula dengan persembahan kepada Sang Pemberi yang berasal dari hasil perkebunan.
Namun, bukan berarti relasi Nanamama dan lingkungannya selalu berjalan baik. Pada perkembangan konfliknya, novel ini juga menyinggung soal pembangunan hotel, resort, atau vila yang ada di daerah perdesaan guna untuk memenuhi kebutuhan akan industri pariwisata. Sayangnya, pembangunannya tidak dibarengi dengan konsep keberlanjutan sehingga lebih condong merusak alam.
Hal inilah yang kemudian memantik penolakan Nanamama terhadap pembangunan hotel. Nanamama menganggap kehadiran hotel di pinggir desa akan menimbulkan dampak negatif, alih fungsi lahan pertanian menjadi hotel akan mengurangi luas lahan persawahan di desa tersebut. Akibatnya, penduduk desa akan kehilangan mata pencaharian sekaligus kehilangan lahan untuk bertani.
Gagasan Nanamama tersebut ditolak oleh sebagian besar penduduk desa, terutama Pak Wawatua dan anak-anaknya. Motif utama Pak Wawatua menjual persawahan adalah keuntungan instan agar ia bisa memiliki modal untuk membangun bisnis bagi anak-anaknya. Namun, perlawanan Nanamama membuat hotel sulit beroperasi di sana. Selain Pak Wawatua, Nanamama mendapat kecaman dari warga sekitar sampai dijuluki sebagai wanita egois dan gila.
Nanamama mempertahakan ideologinya sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam. Ideologi tersebut diturunkan pada Kakaputu dan Arumbawangi sehingga anak-anak mereka memiliki kepedulian yang sama terhadap lingkungan mereka. Sayangnya, ia mendapat penindasan dari berbagai pihak yang tidak suka dengan gagasannya itu. Bahkan Nanamama harus meregang nyawa karena ilmu gaib yang dikirimkan padanya agar sakit dan meninggal dunia.
Kehadiran tokoh Nanamama seolah membuktikan bahwa dominasi terhadap perempuan dan sistem patriarki masih dilanggengkan masyarakat. Posisinya sebagai perempuan subordinat membuat suara Nanamama tidak digubris penduduk desa padahal ia memiliki alasan yang kuat untuk menolak pembangunan hotel. Pada akhirnya, secara ironi nasib Nanamama harus berakhir tunduk pada sistem sosial yang selalu menekan perempuan.
Identitas buku
Judul: Kokokan Mencari Arumbawangi
Penulis: Cyntha Hariadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: cetakan 2025
Tebal buku: 348 halaman